Thursday, September 16, 2010

THT: Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Nasi


SKENARIO 1: Rhinosinusitis Kronik Dengan Polip Nasi
DD : Rhinitis alergika, polip nasi, sinusitis, deviasi septum nasi, rhinitis vasomotor
PENDAHULUAN
Skenario 1: Hidung Buntu
Seorang laki-laki 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan hidung buntu. Sejak 6 bulan yang lalu penderita sering pilek disertai hidung buntu yang menetap. Sejak kecil penderita sering bersin-bersin lebih dari 5 kali pada pagi hari, dan menghilang siang hari, disertai hidung gatal dan mata berair. Sejak 3 bulan terakhir ini penderita merasa kepala nyeri dan pipi sebelah kanan terasa penuh, hidung terasa semakin buntu dan dirasa ada massa yang menyumbat di belakang hidung kanan, tetapi tidak berdarah. Penderita merasa hidung berbau busuk (amis).
Di Puskesmas penderita mendapat pengobatan sebanyak 2 kali. Obat yang didapat adalah antibiotik, analgetik, dan anti piretik, tetapi tidak ada perbaikan. Kemudian penderita dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pada pemeriksaan hidung: konka tampak oedema, mukosa livide. Tenggorok: ada masa soliter dengan permukaan halus yang menggantung di nasopharynx sampai oropharynx yang berwarna keabu-abuan, post nasal drip (+). Telinga: membrana timpani tampak retraksi, cone of light mengecil sampai hilang. X foto Sinus paranasal: pengkabutan sinus maxilaris kanan tampak massa di nasopharynx sampai oropharynx. Laboratorium darah: lekositosis, eosinophlia, LED meningkat, Gula darah sewaktu 234 mg/dl. Kultur swab konka ditemukan Staphillococcus aureus. Berdasar hasil pemeriksaan di atas dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan operatif, sambil diberikan medikamentosa selama 14 hari.
Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi hidung?
  2. Bagaimanakah patogenesis dan patofisiologi keluhan pasien?
  3. Mengapa obat yang diberikan pihak Puskesmas tidak memperbaiki keadaan pasien?
  4. Bagaimanakah interpretasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan kultur swab konka?
  5. Mengapa dokter menyarankan pelaksanaan tindakan operatif?
  6. Medikamentosa apakah yang sekiranya diberikan dokter selama 14 hari tersebut?
  7. Bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat dari pasien?
Hipotesis
Terjadi inflamasi pada rongga hidung (rhinitis) dengan penyebab alergi.

TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa daerah hidung dimana jalan napas menyempit dapat diibaratkan sebagai “katup”. Pada bagian vestibulum hidung, terdapat dua penyempitan demikian. Penyempitan yang lebih anterior terletak diantara aspek posterior kartilago lateralis superior dengan septum nasi. Tiap deviasi septum nasi pada daerah ini seringkali makin menyempitkan jalan napas dengan akibat gejala-gejala sumbatan jalan napas. Deviasi demikian dapat disebabkan trauma atau pertumbuhan tidak teratur (Hilger, 1997).
Bersin
                Bersin yang berulang-ulang merupakan keluhan pasien alergi hidung. Perlu ditanyakan apakah bersin ini timbul akibat menghirup sesuatu yang diikuti keluar secret yang encer dan rasa gatal di hidung, tenggorok, mata, dan telinga (Soepardi, 2007).
Kepala terasa nyeri, pipi terasa penuh
                Rasa nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi, dan tengah kepala disertai keluhan hidung dapat merupakan tanda-tanda infeksi sinus (sinusitis). Rasa nyeri atau rasa berat ini dapat timbul bila menundukkan kepala dan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari (Soepardi, 2007).
Konka Oedema, Mukosa Livide
                Konka didekat septum nasi umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat) dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan mengecil pada sisi yang lainnya, sedemikian rupa adar dapat mempertahankan lebar rongga udara yang optimum. Jadi meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih ada dan masih normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang berbeda (Hilger, 1997).
                Pada pemeriksaan, keadaan konka perlu dinilai untuk menentukan ada tidaknya edema atau perubahan warna mukosa, misalnya mukosa yang pucat, lapisan dasar mukosa konka yang basah dan berongga-rongga pada rhinitis alergika (Hilger, 1997)
Mukosa hidung pada pasien alergi biasanya basah, pucat dan berwarna merah jambu keabuan. Konka tampak membengkak. Jika terdapat infeksi penyerta, secret dapat bervariasi mulai dari encer dan mukoid hingga kental dan purulen; pada saat yang sama, mukosa menjadi merah dan meradang, terbendung, atau bahkan kering sama sekali. Radiogram sinus paranasalis tidak spesifik, namun dapat terlihat penebalan lapisan mukosa dan terkadang pengumpulan secret. Bila ostia alami menjadi tersumbat akibat pembengkakan hebat, maka suatu gambaran air fluid level atau bahkan bayangan opak total, dapat nyata dalam rongga sinus (Hilger, 1997).
Retraksi Membrana Timpani, Cone of Light Mengecil Sampai Hilang
                Membrana timpani dapat mengalami retraksi bila terdapat suatu vakum dalam telinga tengah, atau dapat menonjol bila terdapat cairan, infeksi, atau massa jaringan dalam telinga tengah (Paparella et.al, 1997). Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membrane timpani akibat terjadinya tekanan negative di dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara (Djaafar et.al, 2007).
                Membrane timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial (Liston & Duvall, 1997). Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membrane timpani kiri dan pukul 5 untuk membrane timpani kanan. Reflek cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membrane timpani. Pada membrane timpani terdapat 2 macam serabut yaitu serabut sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berbentuk kerucut tersebut. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai misalnya bila reflek cahaya mendatar berarti terdapat gangguan pada tuba Eustachius (Soetirto et.al, 2007).
                Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drainase secret dan menghalangi masuknya secret dari nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar (Djaafar et.al, 2007).
X Foto Sinus Paranasal: pengkabutan sinus maxillaries kanan tampak massa di nasopharynx sampai oropharynx yang berwarna keabuan
                Pemeriksaan radiologic untuk menilai sinus maksila dengan posisi Water, sinus frontalis dan sinus etmoid dengan posisi posteroanterior, dan sinus sphenoid dengan posisi lateral (Soepardi, 2007).
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, secret disalurkan kedalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara (Hilger, 1997).
Postnasal drip (+)
                Secret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut sebagai post nasal drip kemungkinan berasal dari sinus paranasal (Soepardi, 2007).
Secret purulen pada meatus media dapat merupakan petunjuk penyakit supuratif pada antrum maksilaris, sel-sel etmoidalis anterior, atau sinus frontalis. Demikian pula, adanya secret pada meatus superior dapat menunjukkan suatu infeksi pada sel-sel etmoidalis posterior (Hilger, 1997).
Laboratorium darah: lekositosis, eosinophilia, LED meningkat, Gula darah sewaktu 234 mg/dl.
                Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE serum, dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan alergi. Eosinofil dihubungkan dengan sejumlah tipe reaksi imun maupun non-imun. Interpretasi eosinofil adalah sulit karena terdapat masalah dalam hal definisinya, dank arena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi, obat tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan, dan teknik peneraan, serta juga oleh kinetiknya (Blumenthal, 1997).
                Reaksi imunologik maupun non-imunologik dapat menimbulkan eosinofilia dalam darah, jaringan, dan cairan tubuh. Dengan demikian eosinofil bersifat cocok namun tidak diagnostic dengan alergi (Blumenthal, 1997).
Rhinitis Alergika
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE (Irawati et.al, 2007).
Patofisiologi Rinitis Alergi
                Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non-spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembapan udara yang tinggi (Irawati et.al, 2007).
Gambaran Klinis
Secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal drip. Keluhan yang lazim menyertai polip hidung adalah hidung tersumbat dan rinore. Gejala dan tanda terjadinya sinusitis tergantung pada sinus yang terlibat. Secara khas dapat berupa nyeri kepala, nyeri tekan, atau nyeri pada daerah sinus yang terkena, sumbatan hidung, secret hidung, dan sakit tenggorokan. Oleh beberapa ahli dikatakan bahwa sebagian sinusitis aktif dapat memperhebat asma bronchial (Blumenthal, 1997).
Klasifikasi Rinitis Alergi
Berdasarkan sifat berlangsungnya (Irawati et.al, 2007):
1.       Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
2.       Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab tersering adalah allergen inhalan.
Berdasarkan klasifikasi rekomendasi WHO ARIA tahun 2001, berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi (Irawati et.al, 2007):
1.       Intermiten (kadang-kadang), kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2.       Persisten/menetap, bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Rhinitis alergi dibagi menjadi 3 (Irawati et.al, 2007).:
1.       Ringan. Tidak ada gangguan tidur, aktivitas, bersantai, olahraga, bekerja, dan hal-hal lain mengganggu.
2.       Sedang-berat. Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Polip Hidung
                Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi mukosa.  Diduga predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Patogenesis
                Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau turbulensi udara, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
                Bila proses berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Makroskopis
Polip merupakan massa bertangkai, permukaan licin, bentuk bulat atau lonjong, warna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuningan karena mengandung banyak jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Mikroskopis
                Epitel serupa mukosa hidung normal, epitel bertingkat semua bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel goblet. Pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik, atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel radangnya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaiut polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Diagnosis Polip Nasi
Anamnesis
Keluhan utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat, rinore mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, nyeri hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila infeksi sekunder mungkin terdapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Pemeriksaan Fisik
                Polip masif dapat menyebabkan deformitas. Pada rinoskopi anterior terlihat sebagai massa warna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Pemeriksaan Radiologi
                Foto sinus paranasal dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan batas udara-cairan dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada polip yang gagal diterapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Penatalaksanaan
                Menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip sebagai polipektomi medikamentosa, topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik berespon lebih baik dibanding neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Sinusitis
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai dan dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Sinus maxilla berbentuk pyramid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis; 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus etmoid adalah sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid, dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat dalam massa bagian lateral os.etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dari nervus di bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sphenoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Di dalam sinus terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya untuk mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring didepan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca-nasal (post nasal drip) tetapi belum tentu ada secret di rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Etiologi dan Faktor Predisposisi
                Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia, dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis. Faktor lain yang berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Patofisiologi
                Organ-organ pembentuk KOM letaknya berdekatan, dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Klasifikasi dan Mikrobiologi
                Konsensus internasional tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara  4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Gejala Sinusitis
                Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Nyeri tekan di daerah sinus yang terkena, kadang nyeri terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri di vertex, oksipital, belakang bola mata, atau daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya 1 atau 2 dari gejala seperti sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkhitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Pemeriksaan Sinus Paranasal
Inspeksi
                Adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Palpasi
                Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Transiluminasi
                Hanya dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologic tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
                Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Pemeriksaan Radiologik
                Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologic. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi postero-anterior  untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Terapi
                Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Indikasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).

PEMBAHASAN
Hidung buntu yang dialami pasien terjadi akibat edema mukosa dan konka, sebagai efek inflamasi dari pajanan allergen dan infeksi sekunder bakteri Staphylococcus aureus. Pilek disertai hidung buntu yang menetap sejak 6 bulan, menandakan bahwa proses penyakit yang berlangsung sudah dalam tahap kronis. Bersin-bersin lebih dari 5 kali pada pagi hari, dan menghilang siang hari, disertai hidung gatal dan mata berair merupakan tanda dari rhinitis allergika. Hidung gatal merupakan efek dari rilis histamine pada ujung reseptor saraf. Sedangkan mata berair terjadi akibat penyumbatan ductus nasolakrimalis akibat edema konka. Kepala nyeri dan pipi sebelah kanan terasa penuh, merupakan penanda terjadinya sinusitis. Menurut lokasi nyeri, kemungkinan sinus yang mengalami inflamasi adalah sinus maksila dan sinus frontalis. Massa yang menyumbat di belakang hidung kanan, tetapi tidak berdarah merupakan polip yang terlihat dari hasil X foto Sinus paranasal berupa pengkabutan sinus maxilaris kanan tampak massa di nasopharynx sampai oropharynx. Pada X foto sinus paranasal yang normal tampak gelap atau hitam, karena dalam keadaan normal sinus paranasal hanya berisi udara. Penderita merasa hidung berbau busuk (amis) karena terjadi penumpukan pus akibat penyumbatan oleh konka yang mengalami oedema, serta adanya nekrosis jaringan.
Di Puskesmas penderita mendapat pengobatan sebanyak 2 kali berupa antibiotik, analgetik, dan anti piretik, tetapi tidak ada perbaikan karena penyakit telah masuk dalam tahap kronis inflamasi, sehingga perlu penanganan terhadap inflamasi yang terjadi. Selama pasien tidak menghindari pajanan allergen, maka rhinitis akan berulang. Karena itu perlu edukasi terhadap pasien mengenai cara menghindari allergen yang memicu timbulnya rhinitis alergika. Konka tampak oedema merupakan penanda inflamasi, sedangkan mukosa livide atau pucat disebabkan karena jaringan mengandung banyak cairan dan tetapi hanya terdapat sedikit aliran darah. Massa soliter dengan permukaan halus yang menggantung di nasopharynx sampai oropharynx yang berwarna keabu-abuan merupakan tangkai polip. Sedangkan post nasal drip (+) merupakan secret yang turun dari sinus akibat terjadinya sinusitis. Membrana timpani tampak retraksi, cone of light mengecil sampai hilang merupakan akibat dari penurunan tekanan membrane tympani menjadi negative karena tersumbatnya aliran udara antara cavum tympani dan nasopharynx karena adanya tangkai polip. Lekositosis, eosinophlia, LED meningkat menunjukkan terjadinya infeksi. Dengan partikel yang bertambah maka pengendapan darah akan semakin cepat. Gula darah sewaktu 234 mg/dl dapat menjadi suatu predisposisi infeksi karena darah yang kadar glukosanya tinggi merupakan media pertumbuhan yang disukai oleh kuman. Selain itu, sebelum operasi, glukosa darah harus dinormalkan agar tidak menimbulkan komplikasi. Kultur swab konka ditemukan Staphillococcus aureus menunjukkan karena S. aureus mempunyai beta laktamase, maka antibiotik golongan beta laktam tidak dapat digunakan untuk terapi medikamentosa dalam skenario. Selain itu, S. aureus mudah resisten terhadap antibiotik, sehingga kemungkinan pengobatan dari Puskesmas tidak memperbaiki keadaan pasien. Tindakan operatif diperlukan sesuai prinsip penatalaksanaan polip, karena jika tidak dilakukan polipektomi, maka polip akan terus menyumbat cavum nasi bahkan pharynx sehingga gejala tidak membaik, bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih seirus. Kemungkinan terapi medikamentosa selama 14 hari adalah berupa kortikoseroid berbentuk suntikan intranasal berupa triamsinolon asetonid atau prednisolon, kortikosteroid oral yang dosisnya diturunkan perlahan, atau obat semprot hidung.

DAFTAR PUSTAKA
Blumenthal, Malcolm N. 1997. Kelainan Alergi Pada Pasien THT dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Djaafar, Zainul A. Helmi. Restuti, Ratna D. 2007. Kelainan Telinga Tengah dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hilger, Peter A. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Hilger, Peter A. 1997. Penyakit Hidung dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Irawati, Nina. Kasakeyan, Elise. Rusmono, Nikmah. 2007. Rinitis Alergi dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Liston, Stephen L. Duvall, Arndt J. 1997. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Mangunkusumo, Endang. Soetjipto, Damajanti. 2007.  Sinusitis dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Paparella, Michael M. Adams, George L. Levine, Samuel C. 1997. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Soepardi, Efiaty A. 2007. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetjipto, Damayanti. Mangunkusumo, Endang. 2007. Sinus Paranasal dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.