Friday, October 29, 2010

Mata: Glaukoma Akut dan Uveitis Anterior



Skenario 2: Mata Merah Visus Turun
BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:
Datang seorang pria, 65 tahun, kedua mata merah dan nyeri, serta pandangan kabur. Kelopak mata bengkak sejak 6 hari yang lalu. Ia juga merasakan nyeri di sekitar bola mata, cekot-cekot, seperti melihat pelangi.
Pada pemeriksaan mata kanan didapatkan visus 2/60,  tekanan intraokuler (TIO) mata kanan 45 mmHg, biomicroscop slitlamp didaptkan kornea edema, anterior chamber dangkal, pupil mid dilatasi.
Pada pemeriksaan mata kiri didapatkan visus 6/30, TIO 19 mmHg, didapatkan siliar injeksi dan defek berupa ulkus di region inferior kornea yang tampak berwarna hijau pada uji fluororesensi dan dengan uji placido tampak gambaran lingkaran yang tidak konsentris dan ada bagian yang terputus, pemeriksaan biomicroscop slitlamp tampak flare dan cell di anterior chamber, pupil miosis dengan sinekia posterior.
            Skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan. Sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: mata merah, jenis pemeriksaan mata dan interpretasinya, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis penderita.
            Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini. Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang sudah didapatkan.
B.        RUMUSAN MASALAH
1.        Apa yang dimaksud mata merah, patofisiologi dan tipenya?
2.        Apa saja pemeriksaan mata pada penderita dan bagaimana interpretasinya?
3.        Bagaimana patofisiologi gejala, tanda dan hasil pemeriksaan pada penderita?
4.        Apa kemungkinan diagnosis banding penderita?
5.        Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada penderita?
C.        TUJUAN PENULISAN
1.        Memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan kedokteran klinik  terutama yang berkaitan dengan skenario.
2.        Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik ilmu penyakit mata untuk memecahkan masalah dalam skenario.
3.        Memenuhi tugas kelompok tutorial skenario 2 Blok Mata.
D.       MANFAAT PENULISAN
Penulisan laporan ini diharapkan dapat sebagai sarana pembelajaran mahasiswa dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik ilmu penyakit mata.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.       Anatomi dan Fisiologi Mata
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan–lapisan tersebut adalah : (1) sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkas–berkas cahaya ke interior mata. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk memberi makan retina. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan sebuah lapisan syaraf di dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf (Ilyas, 2004; Mann, 2008).
Struktur mata manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya ke retina. Semua komponen–komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan bayangan gelap dari cahaya. Kornea dan lensa berguna untuk mengumpulkan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impuls–impuls syaraf ini dan menjalarkannya ke otak (Mann, 2008).
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 milimeter. Bola mata bagian depan depan (kornea) memiliki kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan yaitu (Ilyas, 2004):
1.        Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang memberi bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang membentuk bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk kedalam bola mata.
2.        Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler, terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk kebola mata, yaitu otot dilator, sfingter iris, dan otot siliar. Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Badan siliar yang terletak dibelakang iris menghasilkan cairan bilik mata (humor aquos), yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.
3.        Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
Humor aquos adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata depan dan bilik mata belakang. Volumenya adalah sekitar 250 µL, dan kecepatan pembentukannya, yang bervariasi diurnal, adalah 1.5-2 µL/ mnt. Komposisi humor aquos serupa dengan plasma kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan laktat yang lebih tinggi dan protein, urea, dan glukosa yang lebih rendah (Vaughan, 2000).
Humor aquos diproduksi oleh korpus siliare. Ultrafiltrasi plasma yang dihasilkan di stroma prosesus siliaris dimodofikasi oleh fungsi sawar dan prosesus sekretorius epitel siliaris. Setelah masuk ke bilik mata belakang, humor aquos mengalir melalui pupil ke bilik mata depan (Gambar 1) lalu ke jalinan trabekular di sudut bilik mata depan. Selama periode ini, terjadi pertukaran diferensial komponen-komponen dengan darah di iris (Vaughan, 2000).
Aliran keluar humor aquos adalah sebagai berikut. Jalinan/ jala trabekula terdiri dari berkas-berkas jaringan kolagen dan elastik yang dibungkus oleh sel-sel trabekular yang membentuk suatu saringan dengan ukuran pori-pori semakin mengecil sewaktu mendekati kanalis Schlemm. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya ke dalam jalinan trabekula memperbesar ukuran pori-pori di jalinan tersebut sehingga kecepatan drainase humor aquos juga meningkat. Aliran humor aquos kedalam kanalis Schlemm bergantung pada pembentukan saluran-saluran transeluler siklik di lapisan endotel. Saluran eferen dari kanalis Schlemm (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena aquos ) menyalurkan cairan ke dalam sistem vena. Sejumlah kecil humor aquos keluar dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat sela-sela sklera (aliran uveoskleral) (Vaughan, 2000).
Resistensi utama terhadap aliran keluar humor aquos dari bilik mata depan adalah lapisan endotel saluran Schlemm dan bagian-bagian jalinan trabekular di dekatnya, bukan dari sistem pengumpul vena. Tetapi tekanan di jaringan vena episklera menentukan besar minimum tekanan intraokular yang dicapai oleh terapi medis (Vaughan, 2000).

B.        Glaukoma Akut
Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler yang mengakibatkan perubahan patologis dalam diskus optikus dan defek pada lapang pandang yang khas (Dorland, 2007).
Secara umum, glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma primer, glaukoma kongenital, dan glaukoma sekunder. Pada glaukoma primer, dikenal glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sudut terbuka. Pengklasifikasian ini ditinjau dari tertutup atau tidaknya sudut bilik depan mata. Glaukoma sudut terbuka disebut juga glaukoma simpleks menahun karena permulaannya tidak kentara, berjalan progresif lamban tanpa gejala. Sedangkan pada glaukoma sudut tertutup, terjadi peningkatan tekanan intraokular yang mendadak sehingga onset penyakit adalah akut. Bila terjadi berulang kali disebut subakut atau menahun (Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Glaukoma sudut tertutup terjadi bila tekanan intraokular mendadak naik karena adanya hambatan oleh akar iris pada sudut bilik mata depan, yang membendung semua aliran keluar. Timbul nyeri hebat dan penglihatan mendadak hilang. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
Serangan akut glaukoma sudut tertutup hanya terjadi bila sudut bilik mata depan secara anatomis sempit. Secara klinis keadaan ini mudah dinilai dengan memperkirakan kedalaman bilik mata depan menggunakan iluminasi oblik dari sebuah lampu senter kecil. Faktor-faktor berikut bisa lebih memperdangkal sudut bilik mata depan, dan mempermudah terjadinya glaukoma sudut tertutup: (1) hambatan pupil fisiologis, sudut bilik mata depan sempit; (2) bertambahnya ukuran lensa (Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Faktor pencetus terjadinya glaukoma akut pada bentuk primer (bakat bawaan) adalah berupa pemakaian obat-obatan midriatik, berdiam lama di tempat yang gelap, dan gangguan emosional. Bentuk sekunder (akibat penyakit lain) sering disebabkan hifema, luksasi/ subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur, uveitis dengan suklusio/ oklusio pupil atau iris bombe, atau pasca bedah intraokuler (Mansjoer, 2001).
Perubahan patologi pada glaukoma akut antara lain sinekia anterior perifer dan sembab maupun kongesti jonjot- jonjot siliar dan iris. Hal ini sebagai akibat penyempitan vaskular karena tekanan tinggi. Perubahan yang timbul kemudian adalah akibat gangguan perdaragan dan tekanan tinggi ini. Iris dan badan siliar mengalami atrofi dan jonjot- jonjot siliar menunjukkan degenerasi hialin. Sembab kornea menahun menyebabkan longgarnya epitel kornea dan pembentukan bula epiter (keratopati bula). Perubahan patologi terpenting adalah kerusakan unsur-unsur saraf degenerasi serabut saraf dan hilangnya substansi mangkuk optik yang berkaitan dengan lempeng kribriform yang melengkung ke belakang. Lapisan sel-sel ganglion dan lapisan serabut sarad retina mengalami degenerasi. Sementara itu mungkin terjadi katarak (Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Penemuan klinis glaukoma akut antara lain nyeri pada mata yang mendapat serangan yang berlansung beberapa jam dan hilang setelah tidur sebentar. Melihat pelangi (halo) sekitar lampu dan keadaan ini merupakan stadium prodormal. Terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah. Selain itu ditemukan pula bradikardia, mata dengan tanda- tanda peradangan seperti kelopak mata bengkak, mata merah, tekanan bola mata sangat tinggi yang mengakibatkan pupil lebar, kornea suram dan edem, iris sembab meradang, papil saraf optik hiperemis, edem dan lapang pandangan menciut berat. Iris bengkak dengan atrofi dan sinekia posterior serta lensa menjadi keruh. Tajam penglihatan sangat menurun.
Biasanya mata yang lain diserang 2-5 tahun kemudian. Sesudah beberapa kali serangan atau berlangsung lama maka terjadi perlengketan antara pangkal iris dan kornea (goniosinekia) (Ilyas, 1998).
Iritis akut dan konjungtivitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada glaukoma sudut tertutup bila ada radang mata akut, meskupin pada kedua hal tersebut di atas jarang disertai bilik mata depan yang dangkal atau tekanan yang tinggi. Pada iritis akut terdapat lebih banyak fotofobia, tetapi rasa nyerinya kurang jika dibanding glaukoma. Ditemukan flare and cell di bilik mata depan dan terdapat injeksi siliar yang dalam. Lain halnya pada konjungtivitis yang tidak begitu nyeri atau tidak nyeri sama sekali dan tajam penglihatan tidak turun. Tidak ada injeksi siliar, namun ditemukan kotoran mata dan konjungtiva sangat meradang (Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan diagnosis glaukoma akut antara lain: pengukuran dengan tonometri Schiotz; perimetri, gonioskopi, dan tonografi bila edema kornea menghilang.
Penatalaksanaan pasien dengan glaukoma akut pada prinsipnya adalah menurunkan tekanan intraokular secepatnya dengan pemberian asetazolamid 500 mg dilanjutkan 4 x 250 mg, solusio gliserin 50% 4 x 100- 150 ml dalam air jeruk, penghambatan beta adrenergik 0,25- 0,5 % 2 x 1 dan KCl 3 x 0,5 g. Diberikan pula tetes mata kortikosteroid dan antibiotik untuk mengurangi reaksi inflamasi.
Untuk bentuk  yang primer, diberikan tetes mata pilokarpin 2% tiap ½ - 1 jam pada mata yang mendapat serangan dan 3 x 1 tetes pada mata sebelahnya. Bila perlu diberikan analgetik dan antiemetik.
Bila tekanan bola mata normal dan mata telah tenang, dapat dilakukan pembedahan. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan gonioskopi. Sebagai pencegahan juga dilakukan iridektomi pada mata sebelahnya.
Pada bentuk yang sekunder, harus dicari penyebabnya dan diobati yang sesuai. Dilakukan operasi hanya bila perlu dan jenisnya tergantung penyebab. Misalnya pada hifema dilakukan parasintesis, pada kelainan lensa dilakukan ekstraksi lensa, dan pada uveitis dilakukan iridektomi atau operasi filtrasi (Mansjoer, 2001).

C.        Uveitis
            Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga bagian secara bersamaan seperti pada sarkoidosis.Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral.Berdasarkan patologi, dapat dibedakan dua jenis besar uveitis yaitu yang non-granulomatosa dan granulomatosa.
Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior.Terdapat kelompok nodular sel epitelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni, iris dan corpus ciliare.Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear.Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior (Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Uveitis dapat terjadi mendadak atau akut berupa mata merah dan sakit, ataupun datang perlahan dengan mata merah dan sakit ringan dengan penglihatan turun perlahan-lahan.Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut mata sakit, merah, fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair, dan mata merah.Keluhan sukar melihat dekat pada pasien uveitis akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi.
Keluhan subjektif uveitis anterior pada awalnya dapat berupa sakit di mata, sakit kepala, fotofobia, dan lakrimasi. Gejala obyektifnya adalah injeksi siliar, presipitat keratik, flare and cell dalam bilik mata depan serta endapan fibrin pada pupil yang dapat menyebabkan sinekia posterior (Ilyas, 2002).
Diperlukan pengobatan segera untuk mencegah kebutaan.Pengobatan pada uveitis anterior adalah dengan steroid yang diberikan pada siang hari bentuk tetes dan pada malam hari bentuk salep.Sikloplegik diberikan untuk mengurangi rasa sakit, melepas sinekia yang terjadi, memberi istirahat pada iris yang meradang (Ilyas, 1998).

D.       Tukak (Ulkus) Kornea
Definisi
Tukak kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase oleh sel epitel baru dan sel radang.Dikenal dua bentuk tukak pada kornea yaitu sentral dan marginal / perifer.Tukak kornea perifer dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun dan infeksi.Infeksi pada kornea perifer biasanya oleh kuman Staphylococcus aureus, H. influenza dan M.lacunata (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Faktor risiko terbentuknya ulkus:
- Cedera mata
- Ada benda asing di mata
- Iritasi akibat lensa kontak.
(Ilyas, 2002)
Etiologi
Penyebab tukak kornea :
1. Infeksi bakteri
Bakteri yang sering menyebabkan tukak kornea adalah Streptococcus  α-hemoliticus, Staphylococcus aureus, Moraxella likuefasiens, Pseudomonas aeroginosa, Nocardia asteroides, Alcaligenes sp, Streptococcus anaerobic, Streptococcus β-hemolitivus, Enterobacter hafniae, Proteus sp, Staphylococcus epidermidis, dan infeksi campuran Erogenes.
2.Infeksi jamur
3.Infeksi virus
4.Defisiensi vitamin A
5.Lagophtalmus akibat parese N. VII dan N.III
6.Trauma yang merusak epitel kornea
7.Ulkus Mooren
(Vaughan, Asbury and Riordan, 2000)
Macam Tukak Kornea
Berdasarkan bentuknya tukak kornea dibagi menjadi :
1.Marginal
2.Fokal
3.Multifokal
4.Difus disertai masuknya pembuluh darah kedalamnya
(Ilyas, 2002)
Perjalanan Penyakit Tukak Kornea
1.Progresif
Pada proses kornea yang progresif dapat terihat, infiltrasi sel lekosit dan limfosit yang memakan bakteri atau jaringan nekrotik yang terbentuk.
2.Regresif
3.Membentuk jaringan parut
Pada pembentukan jaringan parut akan terdapat epitel, jaringan kolagen baru dan fibroblas. Berat ringannya penyakit juga ditentukan oleh keadaan fisik pasien, besar dan virulensi inokulum (Ilyas, 2002).
Gejala Klinis
1.Mata merah
2.Sakit mata ringan hingga berat
3.Fotofobia
4.Penglihatan menurun
5.Kekeruhan berwarna putih pada kornea
Gejala yang dapat menyertai adalah terdapatnya penipisan kornea, lipatan Descemet, reaksi jaringan kornea (akibat gangguan vaskularisasi iris), berupa suar, hipopion, hifema dan sinekia posterior (Ilyas, 2002).
Pada tukak kornea yang disebabkan oleh jamur dan bakteri akan terdapat defek epitel yang dikelilingi PMN. Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitifitas disekitarnya.Biasanya kokus gram positif, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniakan memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih abu-abu pada anak tukak yang supuratif. Daerah kornea yang tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Bila tukak disebabkan Pseudomonas maka tukak akan terlihat melebar dengan cepat, bahan purulen berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaantukak. Bila tukak disebabkan jamur maka infiltrat akan berwarna abu-abu dikelilingi infiltrat halus disekitarnya (fenomena satelit) (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Bila tukak berbentuk dendrit akan terdapat hipestesi pada kornea. Tukak yang berjalan cepat dapat membentuk descemetokel atau terjadi perforasi kornea yang berakhir dengan membuat suatu bentuk lekoma adheren.Bila proses pada tukak berkurang maka akan terlihat berkurangnya rasa sakit, fotofobia, berkurang infiltrate pada tukak dan defek epitel kornea menjadi bertambah kecil (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Pemeriksaan Penunjang
Dengan pemeriksaan biomikroskopi tidak mungkin untuk mengetahui diagnosis kausa tukak kornea.Tukak kornea akan memberikan kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang dengan pewarnaan fluorescein akan berwarna hijau ditengahnya. Iris sukar dilihat karena keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel radang pada kornea.
Diagnosis laboratorium tukak kornea adalah keratomalasia dan infiltrate sisa karat benda asing.
Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membantu membuat diagnosa kausa.Pemeriksaan jamur dilakukan dengan melakukan sediaan hapus yang menggunakan larutan KOH.Sebaiknya pada setiap tukak kornea dilakukan pemeriksaan agar darah, Sabouroud, Triglikolat dan agar coklat (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Pengobatan Tukak Kornea
Pengobatan umumnya untuk tukak kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika yang sesuai topical dan subkonjungtiva, dan pasien bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunyaobatsistemik.Pengobatan pada tukak kornea betujuan menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika dan mengurangi reaksi radang dengan steroid (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Secara umum tukak diobati sebagai berikut :
-       Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai incubator.
-       Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari. Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder.
-       Debridement sangat membantu penyembuhan.
-       Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali keadaan berat.
-       Pengobatan dihentikan bila terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang kecuali bila penyebabnya pseudomonas yang memerlukan pengobatan ditambah 1-2 minggu. Pada tukak kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila
dengan pengobatan tidak sembuh. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Ulkus sentral
Ulkus sentral dibedakan 2 menjadi : ulkus kornea sentral dan ulkus kornea marginal. Etiologinya dapat berasal dari bakteri, virus maupun jamur. Mikroorganisme ini tidak mudah masuk ke kornea selama epitelnya sehat, sehingga diperlukan faktor predisposisi seperti erosi pada kornea, keratitis neurotrofik atau pemakai kortikosteroid atau imunosupresif, pemakai obat lokal anestetika, pemakai IDU, pasien Diabetes Mellitus, atau ketuaan (Ilyas, 2002).
Tukak (ulkus) marginal
Tukak marginal merupakan peradangan kornea bagian perifer berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan tempat kelainannya.Sumbu memanjang daerah peradangan biasanya sejajar dengan limbus kornea.Diduga dasar kelainannya adalah suatu reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin stafilokokus (kurang lebih 50%).Penyakit infeksi lokal dapat mengakibatkan keratitis katarak atau keratitis marginal.Keratitis marginal biasanya terdapat pada pasien setengah umur, dengan adanya blefarokonjungtivitis atau pada orang tua, yang sering dihubungkan dengan reumatik dan debilitas (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Tukak yang terdapat biasanya di bagian perifer kornea dan biasanya terjadi akibat reaksi alergi, toksik, infeksi dan penyakit kolagen vaskular.Ulkus marginal juga dapat terjadi bersama-sama dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Morazella, basil Koch Weeks atau Proteus vulgaris.Pada beberapa keadaan, penyakit ini berhubungan dengan alergi makanan.Perjalanan penyakit ini bervariasi, dapat sembuh cepat, namun dapat pula kambuh dalam waktu singkat, dengan kemungkinan terdapatnya Streptococcus pneumoniae, Haemophillus aegepty pada scapping (Ilyas, 2002).
Infiltrat dan tukak yang terlihat diduga merupakan timbunan kompleks antigen-antibodi dan secara histopatologi terlihat sebagai ulkus atau abses yang epitelial atau subepitelial.
Konjungtivitis angular disebabkan oleh Moraxella, menghasilkan bahan-bahan proteolitik yang mengakibatkan defek pada epitel.Gejala yang timbul berupa : visus yang menurun disertai rasa sakit, fotofobia dan lakrimasi. Terdapat pada satu mata blefarospasme, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dan dangkal.Terdapat unilateral, dapat tunggal atau multipel dan daerah jernih antara kelainan ini dengan limbus kornea, dapat terbentuk neovaskularisasi dari arah limbus (Ilyas, 2002).
Pengobatan berupa antibiotik dengan steroid lokal, dapat diberikan setelah kemungkinan infeksi HSV disingkirkan.Pemberian steroid sebaiknya diberikan dapat jangka waktu singkat dengan disertai pemberian vitamin B dan C dosis tinggi (Ilyas, 2002; Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Ulkus Mooren
Ulkus Mooren adalah suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari tepi kornea, dengan bagian tepinya bergaung dan berjalan progresif tanpa kecenderungan perforasi. Lambat laun ulkus ini akan mengenai seluruh kornea.Merupakan tukak kornea idiopatik unilateral ataupun bilateral. Pada usia lanjut, sering disertai rasa sakit dan merah. Penyakit ini sering terdapat pada wanita usia pertengahan. Pasien terlihat sakit berat dan 25% mengalami billateral.
Tukak ini menghancurkan membran Bowman dan stroma kornea, tidak terdapat neovaskularisasi pada bagian yang sedang aktif, bila kronik akan terlihat jaringan parut dan vaskularisasi. Jarang terjadi perforasi ataupun hipopion.Proses yang terjadi kemungkinan kematian sel yang disusul dengan pengeluaran kolagenase.Banyak pengobatan yang dicoba, namun belum ada yang memberikan hasil yang memuaskan (Ilyas, 2002).

E. Keratitis
Radang pada kornea atau yang biasa disebut dengan keratitis, diklasifikasikan berdasaskan lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superficial dan keratitis profunda.Namun klasifikasi juga dapat didasarkan pada letak pupil, yang terdiri dari keratitis sentral, parasentral serta marginal.
1.    Keratitis Superfisial
a)   Keratitis Pungtata Superfisialis merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membrane Bowman, dengan gambaran klinis bercak-bercak putih halus (infiltrat) pada kornea. Keratitis jenis ini biasa disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada moluskum kontagiosum, akne rosasea, herpes simpleks, herpes zoster, blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinia, trakoma dan trauma radiasi, dry eyes, legoftalmos, dan keracunan obat seperti neomisin.
b)   Keratitis Flikten dahulusering didapatkan pada anak dengan kasus kurang gizi, dan pada penderita TBC sistemik. Namun sekarang lebih banyak dihubungkan dengan reaksi imunologik, infeksi stafilokokus aureus, koksidiosis, dan karena pathogen lain. Keratitis jenis ini  memiliki gambaran klinis yang subyektif berupa benjolan putih kemerahan dan apabila sudah menjalar ke kornea maka akan terjadi epifora, kabur. Sedangkan secara obyektif dapat memberikan gambaran klinis berupa benjolan putih kekuningan, dikelilingi hyperemia konjungtiva, infiltrate, neovaskularisasi, serta didapatkan adanya pustule pada konjungtiva atau pada kornea. Terapi medikamentosa dapat menggunakan steroid tetes mata, bila ada ulkus beri antibiotika.
c)    Keratitis Sika didasarkan pada kurangnya sekresi kelenjar lakrimalis atau sel goblet. Penyebab terdiri dari defisiansi kelenjar air mata, defisiansi komponen lemak, defisiansi komponen musin, penguapan air mata berlebihan, serta akibat dari parut atau mikrovili yang rusak. Gambaran klinisnya terbagi atas subyektif dan obyektif, dimana gambaran subyektifnya tergantung dari kelainan pada kornea, bila masih dalam tahap awal dan belum ada kerusakan biasanya hanya berupa rasa ngeres, kering, pedih pada mata dan adanya keluhan dye-eye. Sedangkan bila telah merusak kornea, gejala dapat berupa silau, berair, sakit dan kabur. Untuk yang obyektif dapat memberikan gambaran klinis berupa kejernihan konjungtiva dan kornea hilang, pada Test schemer berkurang, terfilm kornea mudah pecah, Tear brea luptime berkurang, sukar gerakkan kelopak mata, erosi kornea, keratitis filamentosa.
d)   Keratitis Lepra merupakan bentuk keratitis yang terjadi akibat komplikasi dari penyakit lepra. Pada keratitis jenis ini terdapat gangguan trofik kornea, ekstropion, legoftalmos, anesthesia kornea, serta terjadi denervasi kelenjar lakrimal atau biasa disebut dry eye sindrom. Patognomonik terdapat edema saraf kornea. Gambaran klinik subyektif berupa palpebra edema dan hiperemi. Sedangkan gambaran klinik yang obyektif terdapat keratitis avaskuler, yang berupa, lesi pungtata warna putih seperti kapur, pelan-pelan penglihatan kabur, lesi saling menyatu yang dapat menyebabkan kerusakan pada sub epitel (nebula), serta dalamfase lanjut dapat terjadi pannus lepromatosa. Terapi medikamentosa dapat diberikan Dapson, Rifampisin, serta pembedahan bila ada kelainan pada palpebra.
e)   Keratitis Numularis biasanya unilateral, factor predisposisi adalah para petani, etiologi diduga bersala dari virus. Terdapat infiltrate bundar berbatas tegas. Gejala klinik berupa fotofobia, injeksi siliar. Terapi dapat menggunakan kortikosteroid lokal.
2.    Keratitis Profunda
a)   Keratitis Interstisial Luetik merupakan manifestasi sifilis congenital. Biasanya menyerang pada usia 5-15 tahun. Terjadi reaksi imunologik terhadap treponema palidum. Gambaran klinik yang subyektif berupa sakit, silau dan kabur. Obyektif dapat berupa bagian dari trias Hutchinson yang terdiri dari : keratitis interstisial, gangguan dengar, dan kelainan gigi seri atas.
(Ilyas, 2002).


BAB III
PEMBAHASAN

Pasien yang berusia 65 tahun, merupakan salah satu predsiposisi dari glaukoma akut, yang biasanya terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Kedua mata yang merah dan nyeri merupakan akibat pelebaran pembuluh darah conjunctiva yang terjadi pada peradangan mata akut. Pandangan kabur disebabkan oleh adanya gangguan pada kornea dan adanya injeksi siliar. Kelopak mata yang bengkak mungkin disebabkan oleh proses inflamasi. Nyeri di sekitar bola mata, cekot-cekot, seperti melihat pelangi merupakan gejala klinis dari glaukoma akut serta edema kornea. Akibat adanya kerusakan epitel dan edema kornea, cahaya yang diterima seolah-olah dipantulkan kembali sehingga membentuk lingkaran cahaya yang mengelilingi lapang pandang pasien atau disebut dengan halo vision. Hal ini menandakan pasien berada dalam stadium prodromal.
Pada pemeriksaan mata kanan didapatkan visus 2/60, visus menurun karena adanya edema kornea yang didapatkan pada pemeriksaan biokmikroskop slitlamp. Padahal, kornea merupakan media refraksi terbesar pada mata. Peningkatan tekanan intraokuler diatas 21 mmHg, yaitu menjadi 45 mmHg, sudah dapat didiagnosis sebagai glaukoma Anterior chamber yang dangkal menyebabkan hambatan aliran aquos humor ke canalis schlemm, sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler. Pendangkalan anterior chamber ini juga menyebabkan pupil mengalami mid dilatasi yang spesifik pada glaukoma akut.
Pada pemeriksaan mata kiri didapatkan penurunan visus menjadi 6/30. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan kornea berupa ulkus yang menyebabkan kerusakan epitel kornea, dibuktikan dengan uji fluoresensi yang berwarna hijau. Selain itu, pada uji placido didapatkan lingkaran yang kurang tegas atau putus, yang disebabkan oleh adanya kelainan kornea tadi. TIO yang belum melebihi 21 mmHg, berarti mata kiri pasien tidak atau belum mengalami glaukoma. Siliar injeksi juga  turut menyebabkan penurunan visus yang dialami pasien. Pada pemeriksaan biomicroscop slitlamp tampak flare dan cell di anterior chamber sebagai efek dari peradangan intraokuler yang terjadi. Pupil miosis disebabkan oleh perlekatan iris dengan permukaan anterior lensa, yang disebut sinekia posterior. Keadaan ini kemudian juga dapat berpotensi menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder akibat adanya hambatan aliran aquos humor pada posterior chamber.


BAB IV
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Pada pasien, mata sebelah kanan mengalami glaukoma akut, sedangkan mata sebelah kiri pasien mengalami uveitis anterior.
B.   SARAN
Sebaiknya segera dilakukan penatalaksanaan pada masing-masing mata dengan sesuai dengan diagnosisnya untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut.


DAFTAR PUSTAKA

Ilyas Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilyas, Sidarta. 1998. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. K., Setiowulan, W. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
SS Mann, Lt Col. J Singh, Col (Retd). D Calra, Col. JKS Parihar, Col. N Gupta. P Kumar, Lt Col. 2008. Medical and Surgical Management of Keratomycosis. Akses 23 Oktober 2010 di http://medind.nic.in/maa/t08/i1/maat08i1p40.pdf
Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. Riordan-Eva, Paul. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya Medika.

***********************************************************************************
 [terima kasih untuk Ahmad Alfin, Arifatun Nisa dan Debby Andina atas bantuan menulis Tinjauan Pustaka dan Pendahuluannya]

Sunday, October 3, 2010

THT: Tonsilitis Kronik


SKENARIO 3: Tonsilitis Kronik
DD : Tonsilitis, Pharyngitis, Hipertrofi Adenoid, Laryngitis
PENDAHULUAN
Skenario
Seorang anak laki-laki berumur 8 tahun mengeluh badan panas, nyeri menelan dan disertai pembesaran kelenjar leher. Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3 tahun. Penderita sudah berobat ke puskesmas setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan dan diantara 2 periode terakhir masih terasa sakit waktu menelan, pembesaran kelenjar leher tidak menghilang, bahkan disertai suara serak. Pada pemeriksaan:
  • Hidung : mukosa edem, hiperemi, beringus
  • Telinga : membrana timpani retraksi
  • Pharynx : pembesaran tonsil T2-T2 fibrosis, cripte melebar terdapat detritus, adenoid tampak menonjol, hiperemi, plika tonsilaris anterior hiperemeis, mukosa faring hiperemis
  • Larynx : plika vokalis oedem dan hiperemis
  • Leher : terdapat pembesaran kelenkar limfe leher, nyeri tekan.
  • Pemeriksaan ASTO= +, lekositosis, LED meningkat
  • Pemeriksaan rontgen nasofaring terlihat adenoid membesar
Rumusan Masalah
  1. Bagaimana patofisiologi dari keluhan pasien?
  2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari pasien dalam kasus?
  3. Apa saja diagnosis banding dari keluhan pasien dalam kasus?
  4. Bagaimanakah penatalaksanaan dari pasien dalam kasus?
Hipotesis
Pasien mengalami tonsillitis kronik.

TINJAUAN PUSTAKA
Pemeriksaan ASTO
Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi infeksi oleh Streptokokus. Streptolisin O bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan ASTO umumnya berdasarkan sifat ini (Soetarto & Latu, 1981).
Sistem Aliran Limfe Leher
            Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran limfa yang berasal dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis, dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superficial, dan kelenjar limfa submandibula (Roezin, 2007).
Kelenjar limfa subamndibula, terletak di sekitar kelenjar liur submandibula dan didalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum molle, dan 2/3 depan lidah. Pembuluh limfe mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna superior (Roezin, 2007).

Tonsilitis
            Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Akut
Proses patologis tonsillitis akut (Adams, 1997):
  1. Peradangan biasa daerah tonsila saja.
  2. Pembentukan eksudat.
  3. Selulitis tonsilla dan daerah sekitarnya.
  4. Pembentukan abses peritonsilar.
  5. Nekrosis jaringan.
Tonsillitis Viral
          Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab paling sering adalah virus Epstein-Barr (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Bakterial
Etiologi
          Kuman grup A Streptococcus β haemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus viridian, dan Streptococcus pyogenes (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Patofisiologi
           Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit PMN sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri mati, dan epitel yang terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus juga dapat melebar membentuk pseudomembran yang menutup tonsil (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
            Masa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena nyeri alih melalui N. IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh pseudomembran. Kelenjar submandibula bengkak dan nyeri tekan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
            Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Komplikasi
             Pada anak sering menimbulkan otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, arthritis serta septikemia akibat infeksi v. jugularis interna (sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil mengakibatkan pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena sleep apnea (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Kronik
Patologi
              Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga diganti dengan jaringan parut yang mengalami pengerutan sehingga kripti melebar, yang kemudian diisi dengan detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan melekat dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembengkakan kelenjar submandibula (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
              Tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus melebar, diisi oleh detritus. Rasa tenggorok mengganjal, kering, napas berbau (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
               Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini (Adams, 1997):
  1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronik.
  2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
  3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta.
  4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
  5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah dibawah ini (Adams, 1997):
  1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.
  2. Infeksi sistemik atau kronis.
  3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
  4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
  5. Rhinitis alergika.
  6. Asma
  7. Diskrasia darah
  8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.
  9. Tonus otot yang lemah.
  10. Sinusitis
Komplikasi
          Komplikasi pada daerah sekitar berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh secara hematogen atau limfogen berupa endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Hipertrofi Adenoid
            Secara fisiologis adenoid membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering infeksi saluran napas atas maka terjadi hipertrofi adenoid, sehingga timbul sumbatan koana dan tuba Eustachius (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
            Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi a) fasies adenoid, b) faringitis dan bronkitis, c) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik.  Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.  Selain itu hipertrofi adenoid dapat menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental, dan pertumbuhan fisik berkurang (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Diagnosis
             Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat tertahannya gerakan velum palatum molle saat fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior, pemeriksaan digital untuk meraba adenoid dan pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral kepala (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
 Bedah adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Indikasi adenoidektomi berdasarkan satu atau lebih keadaan dibawah ini (Adams, 1997):
  1. Obstruksi jalan napas bagian atas kronis dengan akibat gangguan tidur, kor pulmonale, atau sindrom apnea waktu tidur.
  2. Nasofaringitis purulen kronis walaupun penatalaksanaan medik adekuat.
  3. Adenoiditis kronis atau hipertrofi adenoid berhubungan dengan produksi dan persistensi cairan telinga tengah (otitis media serosa atau otitis media mukosa).
  4. Otitis media supuratif akut recuren yang tidak mempunyai respons terhadap penatalaksanaan medic dengan antibiotik profilaksis.
  5. Kasus-kasus otitis media supuratif kronis tertentu pada anak-anak dengan hipertrofi adenoid penyerta.
  6. Curiga keganasan nasofaring (hanya biopsi).
Komplikasi Adenoidektomi
          Perdarahan, kerusakan dinding belakang faring jika terlalu belakang, kerusakan torus tubarius jika terlalu lateral, dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul tuli konduktif (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Pharyngitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis Akut
Faringitis Viral
Gejala dan Tanda
           Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak menimbulkan eksudat. Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak, pembesaran kelenjar limfe, terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
            Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
            Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika perludan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis Bakterial
            Infeksi grup A Streptococcus β hemolitikus penyebab faringitis akut pada dewasa (15%) dan anak (30%) (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
            Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk. Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
            Antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin. Kortikosteroid dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Laryngitis
Laringitis Akut
Radang akut laring umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis, yang disebabkan oleh bakteri (menyebabkan peradangan lokal) atau virus (menyebabkan peradangan sistemik) (Hermani et.al, 2007).
Gejala dan Tanda
             Terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, serta gejala lokal seperti suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau bicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan kemudian disertai dengan dahak kental (Hermani et.al, 2007).
             Pada pemeriksaan mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama diatas dan dibawah pita suara. Biasanya juga terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru (Hermani et.al, 2007).
Terapi
             Istirahat bicara dan bersuara 2-3 hari. Menghindari udara lembab dan iritasi pada faring dan laring. Antibiotik diberikan bila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau trakeostomi (Hermani et.al, 2007).
Laringitis Kronis
             Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak atau berbicara keras (Hermani et.al, 2007).
Gejala dan Tanda
            Seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis, dan  terkadang terdapat metaplasi skuamosa. Terdapat gejala suara parau menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal (Hermani et.al, 2007).
Terapi
             Mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara (vocal rest) (Hermani et.al, 2007).

PEMBAHASAN
Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang berusia 8 tahun, menjadi predisposisi kejadian hipertrofi adenoid (tonsilla pharyngea). Pada mulanya anak tersebut mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus, bakteri, dan alergi. Kemudian sitokin proinflamasi yang dirilis oleh tubuh mengakibatkan terjadinya badan panas, nyeri menelan disebabkan oleh edema mukosa tonsilla palatina dan pharynx, dan pembesaran kelenjar leher terjadi akibat penjalaran infeksi melalui jalur limfogen ke kelenjar limfe terdekat.
Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3 th, berarti radang tonsil dan pharynx tersebut termasuk proses radang kronis. Penderita sudah berobat ke puskesmas setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan mungkin dikarenakan ISPA yang berulang sehingga inflamasi pada tonsil dan pharynx juga kembali terjadi secara berulang. Suara serak yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis yang hiperemis dan edema terjadi sebagai akibat penjalaran proses inflamasi yang telah sampai pada larynx.
Mukosa edem, hiperemi, beringus pada hidung merupakan tanda inflamasi pada hidung yang terjadi akibat ISPA berulang. Membrana timpani retraksi pada telinga terjadi akibat tekanan negative pada cavum tympani sebagai konsekuensi dari obstruksi tuba akibat pembesaran adenoid yang menutup OPTAE di nasopharynx.
Pembesaran tonsil T2-T2 fibrosis menandakan tonsillitis yang berulang sehingga dalam proses penyembuhan jaringan berubah menjadi jaringan parut. Tonsilla palatine yang terdapat banyak cripte menyebabkan sisa makanan mudah tersangkut sehingga menjadi predisposisi terjadinya infeksi. Cripte melebar terdapat detritus menjadi penanda sisa-sisa infeksi. Adenoid tampak menonjol merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang kemudian menutup OPTAE, selain itu terdapat kemungkinan inflamasi akibat penjalaran infeksi yang ditandai oleh hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda terjadinya penjalaran infeksi dan inflamasi ke pharynx.
Pemeriksaan ASTO= +, menunjukkan bahwa infeksi terjadi akibat bakteri Streptococcus beta haemolyticus yang sering menyebabkan tonsillitis. Lekositosis, LED meningkat menunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium yang merujuk kepada proses infeksi. Adanya infeksi meningkatkan system pertahanan tubuh, sehingga terjadi peningkatan leukosit, sehingga kemudian juga meningkatkan jumlah komponen sel darah dalam plasma, sehingga darah lebih cepat mengendap. Dugaan terjadinya hipertrofi adenoid juga semakin kuat karena pada pemeriksaan rontgen nasofaring terlihat adenoid membesar.
Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif, simtomatik, dan suportif atau rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab dan tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa analgesik dan antipiretik, serta terapi suportif berupa obat kumur untuk menjaga kebersihan oral.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Hermani, Bambang. Abdurrachman, Hartono. Cahyono, Arie. 2007. Kelainan Laring dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Roezin, Averdi. 2007. Sistem Aliran Limfa Leher dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rusmarjono. Soepardi, Efiaty A. 2007. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soetarto. Latu, Jean. 1981. Pemeriksaan Laboratorium pada Beberapa Jenis Penyakit Sendi Menahun dalam Cermin Dunia Kedokteran No.23, Akses di http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05PemeriksaanLaboratorium023.pdf/05PemeriksaanLaboratorium023.html