Saturday, March 26, 2011

Geriatri: Inkontinensia


Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam Pranarka, 2000).
Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Fisiologi dan patofisiologi diuresis
Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007).
                Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).
                Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007).
                Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).
                Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).
                Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses menua dan inkontinensia urin
Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):
  • Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi.
  • Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.
Etiologi inkontinensia urin
Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):
  1. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.
  2. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain.
  3. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.
Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000):
  1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan.
  2. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.
Inkontinensia urin akut
Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):
D   : Delirium
R    : Retriksi, mobilitas, retensi
I     : Infeksi, inflamasi, impaksi feses
P    : Pharmacy (obat-obatan), poliuri
Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).
Inkontinensia urin persisten
Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000):
      1.       Tipe stress
Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan.
      2.       Tipe urgensi
Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis.
      3.       Tipe luapan (overflow)
Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:
-       Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin.
-       Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus.
      4.       Tipe fungsional
Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.
Terapi
Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut:
      a.       Program rehabilitasi antara lain
-       Melatih respons VU agar baik lagi
-       Melatih perilaku berkemih
-       Latihan otot-otot dasar panggul
-       Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)
      b.      Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling)
      c.       Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen
     d.      Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain
     e.      Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

Inkontinensia Alvi
Pengaturan defekasi normal
Defekasi merupakan proses fisiologis yang melibatkan (Pranarka, 2000):
      -          Koordinasi SSP dan perifer serta sistem refleks
      -          Kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan seran lintang yang terlibat
      -          Kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besar
Hal penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang bertugas mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Brocklehurst, 1987 dalam Pranarka, 2000):
     a.       Sudut ano-rektal, yang dipertahankan pada posisi paling ideal, dibawah 100° oleh posisi otot-otot pubo-rektal.
     b.      Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra- abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya.
     c.       Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot serta lipatam-lipatan mukosa yang saling mendukung.
Gambaran klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
      1.       Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
      2.       Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.
Jenis-jenis inkontinensia alvi dan pengelolaannya
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Pranarka, 2000):
      1.       Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi.
Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung.
      2.       Inkontinensia alvi simtomatik
Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti.
                Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi.
      3.       Inkontinensia alvi neurogenik
Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.
Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar.
      4.       Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen  dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

Daftar Pustaka
Pranarka K. 2000. Inkontinensia dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku Ajar Geriatri Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9

1 comment: