Wednesday, April 20, 2011

Cedera Kepala Traumatik

                Berdasarkan patologinya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer,  kerusakan otak sekunder, edema serebral perifokal generalisata, dan pergeseran otak (brain shift)-herniasi batang otak (Satyanegara, 2010).
 Cedera kepala primer dapat berupa (Satyanegara, 2010):
1.       Fraktur linier, depresi, basis kranii, kebocoran likuor.
2.       Cedera fokal berupa kontusi kup atau konterkup,hematom epidural, subdural, atau intraserebral.
3.       Cedera difus berupa konkusi ringan atau klasik atau berupa cedera aksonal difusa yang ringan, moderat, hingga berat.
4.       Trauma tembak.
Sedangkan kerusakan otak sekunder, dapat berupa (Satyanegara, 2010):
1.       Gangguan sistemik: akibat hipoksia-hipotensi, gangguan metabolisme energi, dan kegagalan otoregulasi.
2.       Hematom traumatika: epidural, subdural (akut dan kronis), atau intraserebral.
                Cedera kepala traumatik dikategorikan menjadi beberapa derajat, yaitu ringan (80%), sedang (10%), atau berat (10%), tergantung dari tingkat disfungsi neurologis pada saat penilaian. Penentuan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) sangat penting dilakukan sesegera mungkin, dan dilakukan secara beberapa kali. Loss of consciousness (LOC) merupakan indikator penting dari cedera kepala traumatik. Klasifikasi cedera kepala traumatik berdasarkan GCS (Marion, 2002):
A.      Cedera Kepala Ringan
-          Skor GCS 13-15.
-          Periode LOC singkat.
-          Prognosis sangat baik.
-          Tingkat mortalitas <1%.
B.      Cedera Kepala Sedang
-          Skor GCS 9-12.
-          Biasanya dalam keadaan bingung dan terdapat defisit neurologis fokal; dapat mengikuti perintah sederhana.
-          Prognosis baik.
-          Tingkat mortalitas <5%.
C.      Cedera Kepala Berat
-          Biasanya skor GCS <8
-          Tidak dapat mengikuti perintah.
-          Tingkat mortalitas hingga saat ini >40%.
-          Pasien yang bertahan memiliki kecacatan yang signifikan.
-          Meningkatnya tekanan intra kranial merupakan penyebab umum dari kematian dan kecacatan neurologis.

Mekanisme Trauma Kepala
                Secara garis besar mekanisme trauma kepala dapat dikelompokkan  menjadi dua tipe, yaitu beban static (static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban static timbul perlahan, dengan tekanan yang mengenai kepala secara bertahap. Hal ini dapat terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dengan kekuatan yang cukup besar dapat mengakibatkan retakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple atau kominutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Gangguan kesadaran atau deficit neurologis biasanya masih tidak ada, kecuali jika deformasi tengkorak hebat yang mengakibatkan kompresi dan distorsi jaringan otak (Satyanegara, 2010).
                Mekanisme yang lebih umum terjadi adalah beban dinamik (dynamic loading) yang berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (<200 mili detik). Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading). Beban guncangan (impulsive loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan-perlambatan (aselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam tiba-tiba digerakkan mendadak, atau sebaliknya, tanpa mengalami benturan. Hal ini dapat terjadi misalnya pukulan pada dada yang mengakibatkan guncangan kepala yang hebat, dimana hal ini tidak ada benturan pada tengkorak. Sedangkan beban benturan (impact loading) lebih sering terjadi, biasanya merupakan kombinasi dari kekuatan beban kontak (contact forces) dan kekuatan beban lanjut (inertial forces). Respon kepala terhadap beban-beban ini tergantung dari obyek yang membentur kepala. Jika kepala tidak bergerak wantu kena benturan, efek yang terjadi sangat minimal. Namun jika energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak selanjutnya menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak (Satyanegara, 2010)
                Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat namun terpisah dari titik benturan. Fenomena ini tergantung dari ukuran alat pembentur dan arah tenaga pada titik benturan (dalam hal ini ditentukan oleh massa, permukaan, kecepatan, dan densitas obyek). Selanjutnya, energi benturan dihantarkan pada kepala. Obyek yang lebih besar dari lima sentimeter persegi mengakibatkan deformitas lokal tengkorak, yang bila melebihi toleransi akan terjadi fraktur. Sedangkan penetrasi, perforasi, atau fraktur depress lokal kebanyakan disebabkan oleh obyek dengan permukaan yang luasnya kurang dari lima sentimeter persegi (Satyanegara, 2010).

Penatalaksanaan Cedera Kepala Traumatik Berat
Pada manajemen perawatan intensif pada pasien dengan cedera kepala traumatik berat (GCS  <8), tujuan utamanya adalah mencegah cedera kepala sekunder dengan membatasi iskemia serebral fokal dan meningkatkan perfusi serebral. Hal ini dapat tercapai dengan baik dengan mengawasi parameter fisiologis secara kontinu dan penggunaan terapi yang tepat untuk menurunkan tekanan intra kranial (TIK) (Marion, 2002).
1.       Monitoring pasien dengan cedera kepala traumatik berat
a.       Tekanan darah arterial
b.      Denyut jantung, electrocardiogram (ECG), suhu, dan oksimetri denyut.
c.       Monitoring tekanan vena sentral atau kateter arteri pulmonalis jika volume status pasien masih dipertanyakan.
d.      Monitoring TIK
e.      Keseimbangan cairan (intake dan output)
f.        Tes gas darah arterial setiap 4 sampai 6 jam; elektrolit dan osmolalitas serum (jika menerima mannitol) setiap 6 jam; hematokrit, PT, PTT, platelets setiap jam.
g.       Saturasi O2 vena jugularis.
2.       Tujuan terapi
a.       Rata-rata tekanan darah arterial dari 90 hingga 110 mmHg pada orang dewasa.
b.      Saturasi O2 (arterial) 100%
c.       TIK <20 mmHg
d.      CPP >60-70 mmHg
e.      PaCO2 = 35 ± 2 mmHg
f.        Hematokrit = 32 ± 2 %
g.       Tekanan vena sentral = 8 hingga 14 cm H2O
h.      Hindari cairan intravena yang mengandung dextrose untuk 24 jam pertama
i.         Mempertahankan saturasi O2 vena jugularis >50% atau isi O2 4-6%
j.        Memastikan PT, PTT, dan hitung trombosit normal
k.       Merpertahankan suhu normal
3.       Penanganan TIK yang meningkat
a.       Peningkatan hasil dapat diharapkan jika TIK tetap terjaga <20 mmHg. Alat pengontrol TIK yang dianjurkan adalah kateter ventriculostomy yang dihubungkan dengan alat ukur. Sistem ini relatif tidak mahal, akurat, dan memungkinkan drainase CSF ketika pengaturan atau pengontrolan TIK diperlukan.
b.      Kateter substansia alba juga akurat dan dapat dipergunakan dengan lebih mudah, namun lebih mahal dan tidak dapat digunakan untuk drainase CSF.
c.       Drainase CSF kontinu tidak dianjurkan karena dinding ventrikuler dapat kolaps disekeliling kateter dan menutup salurannya.
d.      Satu kali pengulangan pemeriksaan CT scan kepala sebaiknya dilakukan dalam 24 jam setelah pemeriksaan CT scan pertama untuk mengetahui adanya delayed posttraumatic hematoma, dan suatu pemeriksaan CT scan juga dilakukan jika terjadi peningkatan TIK yang mendadak atau jika terdapat perburukan pemeriksaan neurologis.
e.      Ketika menggunakan barbiturat, penekanan dari kontraktilitas miokard dapat diminimalisir dengan mempertahankan volume intravaskuler yang normal-tinggi. Pada semua pasien yang menerima terapi barbiturate (untuk TIK yang meningkat), cardiac output dan cardiac preload sebaiknya diukur secara teratur.
f.        Hindari hipovolemia dan hiperosmolalitas jika menggunakan manitol. Osmolalitas sebaiknya dipertahankan <310 hingga 320 mOsm.
4.       Profilaksis antikonvulsan
Terapi antikonvulsan jangka panjang tidak dianjurkan pada pasien dengan cedera kepala traumatik. Anjuran yang ada saat ini adalah penggunaan fenitoin dalam 7 hari pertama setelah cedera pada pasien yang mempunyai risiko tinggi kejang pasca-trauma. Faktor risiko ini termasuk memar kortikal, hematoma subdural, luka tusuk kepala, hematoma epidural, fraktur kranium yang tertekan masuk, hematoma intraserebral, dan kejang dalam 24 jam setelah cedera.
5.       Mulai suplementasi nutrisi dalam 48 jam setelah cedera
Tujuan yang ingin dicapai adalah 25-30 kcal/kg/hari dengan cara enteral atau dengan parenteral. Cara enteral lebih baik dilakukan daripada parenteral.
6.       Prognosis
a.       Hasil penanganan cedera kepala traumatik berat sangat terkait dengan skor GCS awal, ukuran dan reaktivitas pupil, usia, TIK (tekanan >20 mmHg atau ketidakmampuan menurunkan TIK yang meningkat), massa intracranial, hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg), dan saturasi O2 vena jugularis <50%.
b.      Fasilitas rehabilitasi cedera kepala sangat berpengaruh dalam hasil penanganan pasien. Segera setelah pasien stabil secara medis dan neurologis, sebaiknya segera dirujuk ke pusat rehabilitasi.

Daftar Pustaka
Marion D.W. 2002. Head Injury dalam The Trauma Manual 2nd Ed. Lippincott Williams and Wilkins. Pp: 133-6
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Ed.IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pp: 191-2; 198