Sunday, November 28, 2010

Endokarditis Infektif


Sebuah Differential Diagnosis yang seriiing sekali muncul di HOUSE, MD ~ "Bacterial Endocarditis"

Definisi
Endokarditis dibagi menjadi dua, yaitu endokarditis infektif dan endokarditis non infektif. Endokarditis infektif (EI) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroba pada endokardium jantung atau pada endotel pembuluh darah besar, yang ditandai oleh adanya vegetasi. Sedangkan endokarditis non infektif disebabkan oleh faktor thrombosis yang disertai dengan vegetasi. Endokarditis non infektif biasanya sering didapatkan pada pasien stadium akhir penyakit keganasan.  (Hersunarti, 2003; Alwi, 2007).
Infeksi biasanya terjadi pada katup jantung, namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau endokardium mural (Alwi, 2007).
Klasifikasi
Berdasarkan gambaran klinisnya, dibedakan menjadi 2 yaitu (Hersunarti, 2003):
  1. Endokarditis bacterial subakut, timbul dalam beberapa minggu atau bulan, disebabkan oleh bakteri yang kurang ganas seperti Streptococcus viridans.
  2. Endokarditis bacterial akut, timbul dalam beberapa hari sampai minggu, tanda klinis lebih berat. Sering disebabkan oleh bakteri yang ganas seperti Staphylococcus aureus.
Berdasarkan jenis katup dan patogenesis terjadinya infeksi, endokarditis juga dibedakan menjadi tiga yaitu (Hersunarti, 2003):
  1. Native valve endocarditis, pada katup jantung alami.
  2. Prosthetic valve endocarditis, pada katup jantung buatan.
  3. Endokarditis pada penyalahguna narkoba intravena (intravenous drug abuse)
Etiologi
                Walaupun banyak spesies bakteri dan fungi kadang dapat menyebabkan endokarditis, hanya sedikit spesies bakteri yang menjadi penyebab dari sebagian besar kasus endokarditis. Berbagai jenis bakteri yang berbeda menimbulkan gejala klinis yang sedikit bervariasi pada endokarditis. Hal ini dikarenakan jalur masuk masing-masing bakteri juga berbeda. Rongga mulut, kulit, dan saluran pernapasan atas adalah jalur masuk primer bagi Streptococcus viridans, Staphylococcus, dan organisme HACEK (Haemophyllus, Actinobacillus, Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella) yang menyebabkan native valve endocarditis yang didapatkan dari lingkungan. Streptococcus bovis berasal dari saluran cerna, dan entreroccus memasuki aliran darah lewat traktus urogenital. Native valve endocarditis nosokomial merupakan akibat bakteremia dari infeksi kateter intravascular, luka nosokomial dan infeksi traktus urinarius, serta prosedur invasif kronis seperti hemodialisis. Pada bakteremia Staphylococcus aureus akibat kateter, 6-25% mengalami komplikasi menjadi endokarditis (Fauci et al., 2008).
                Endokarditis katup buatan yang muncul dalam 2 bulan setelah pembedahan katup umumnya merupakan akibat dari kontaminasi intraoperatif dari katup buatannya atau komplikasi bakteremia postoperatif. Infeksi nosokomial terlihat dari bakteri primer yang menjadi penyebabnya: Staphylococcus koagulase-negatif (CoNS), Staphylococcus aureus, basil gram negative fakultatif, diphteroid, dan fungi. Jika lebih dari 12 bulan setelah pembedahan muncul endokarditis, maka jalur masuk dan mikroba penyebabnya sama dengan endokarditis katup asli yang infeksinya didapat dari lingkungan. Jika timbul antara 2-12 bulan, sering disebabkan karena infeksi nosokomial yang onsetnya lambat. Kurang lebih sebanyak 85% dari strain CoNS yang menyebabkan endokarditis katup buatan dalam 12 bulan setelah pembedahan resisten terhadap methicillin; angka resistensi methicilline turun menjadi 25% diantara strain CoNS yang timbul lebih dari satu tahun setelah pembedahan katup (Fauci et al., 2008).
                Endokarditis yang terjadi pada pemakai narkoba intravena, khususnya pada infeksi katup tricuspid, umumnya disebabkan oleh S. aureus, yang banyak diantaranya resisten terhadap methicillin. Infeksi jantung sebelah kiri pada pecandu narkoba disebabkan oleh etiologi yang lebih bervariasi dan melibatkan katup yang abnormal, yang seringkali telah rusak akibat endokarditis yang telah terjadi sebelumnya. Sebagian kasus tersebut disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Candida, dan jarang disebabkan oleh Bacillus, Lactobacillus, dan Corynebacterium. Endokarditis akibat berbagai macam mikroba lebih umum terjadi pada pecandu narkoba intravena daripada pasien yang yang tidak menyalahgunakan obat intravena (Fauci et al., 2008).
Sebanyak 5% hingga 15% pasien endokarditis mempunyai kultur darah negatif; pada sepertiga hingga setengah kasus, kultur negatif karena telah diberikan antibiotik. Sisanya, pasien terinfeksi oleh organisme selektif, seperti Granulocatella, Abiotrophia, organisme HACEK, dan Bartonella. Beberapa organisme selektif tersebut juga menyebabkan hal serupa pada epidemiologi khusus (misalnya Coxiella burnetti di Eropa, Brucella di Timur Tengah). Tropheryma whipplei menyebabkan kultur negatif, dan bentuk endokarditis yang lambat serta tidak umum (Fauci et al., 2008).
Epidemiologi dan Faktor Predisposisi
                EI lebih sering terjadi pada pria. Sekitar 36-75% pasien EI katup asli mempunyai faktor predisposisi: penyakit jantung reumatik, penyakit jantung congenital, prolaps katup mitral, katup yang floppy pada sindroma Marfan, tindakan bedah gigi atau orofaring yang baru, tindakan atau pembedahan pada traktus urogenital atau saluran pernapasan, luka bakar, hemodialisis, penggunaan kateter vena sentral, pemberian nutrisi parenteral yang lama, penyakit jantung degeneratif, hipertrofi septal asimetrik, atau penyalahguna narkoba intravena (PNIV). Sekitar 7-25% kasus melibatkan katup prostetik. Faktor predisposisi tidak teridentifikasi pada sekitar 25-47% pasien (Alwi, 2007; Hersunarti, 2003).
Patogenesis
                Mikrotrombi steril menempel pada endokardium yang rusak, diduga menjadi nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik (stress mekanik) dan proses imunologis berperan penting dalam kerusakan endokard. Selanjutnya, kerusakan endotel menyebabkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit, sehingga terbentuk lesi nonbacterial thrombotic endocardial (NBTE). Jika terjadi infeksi mikrorganisme yang masuk sirkulasi, maka endokarditis nonbakterial akan menjadi EI. Setelah bakteri melekat pada plak thrombus-trombosit, bakteri kemudian berproliferasi lokal dengan penyebaran hematogen (Alwi, 2007).
Patologi Endokarditis
                Patologi katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan perivalvular atau distal (non kardiak) karena perlekatan vegetasi septic dengan emboli, infeksi metastatic dan septicemia. Vegetasi biasanya melekat pada aspek atrial katup atrioventrikular dan sisi ventricular katup semilunar, predominan pada garis penutupan katup (Alwi, 2007). Pada katup prostetik, lokasi infeksi adalah perivalvular dan komplikasi yang biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses cincin dan fistula, disrupsi system konduksi dan perikarditis purulenta. Pada katup bioprotese, elemen yang bergerak berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi infeksi dan perforasi katup serta vegetasi (Alwi, 2007).
Patofisiologi (Alwi, 2007)
  • Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup, terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular.
  • Vegetasi fragmen septic yang terlepas mengakibatkan tromboemboli (pada sisi kanan atau kiri), mulai dari emboli paru sampai emboli otak.
  • Vegetasi melepas bakteri terus menerus kedalam sirkulasi, mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam, malaise, tidak nafsu makan, penurunan berat badan dan sebagainya.
  • Respon antibody humoral dan seluler terhadap infeksi dengan kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi dengan antigen yang menetap dalam jaringan.
Gejala Klinis
Endokarditis subakut
Setelah 2 minggu inkubasi, keluhan seperti infeksi umum (panas tidak terlalu tinggi, sakit kepala, nafsu makan kurang, lemas, berat badan turun). Timbulnya gejala komplikasi seperti gagal jantung, gejala emboli pada organ, misalnya gejala neurologis, sakit dada, sakit perut kiri atas, hematuria, tanda iskemia di ekstremitas, dan sebagainya (Hersunarti, 2003).
Endokarditis akut
                Gejala timbul lebih berat dalam waktu singkat. Pasien kelihatan sakit, biasanya anemis, kurus dan pucat. Panas tidak spesifik merupakan gejala paling umum. Ditemukan bising jantung, tetapi jika tidak ada bising belum tentu endokarditis negatif. Tanda karena kelainan vaskuler seperti petekie, splinter haemorrhage (bercak kemerahan dibawah kulit), osler node (nodulus kemerahan, menonjol dan sakit pada kulit tangan atau kaki terutama pada ujung jari) dan janeway lesions (bercak kemerahan pada tangan atau kaki). Tanda pada mata berupa petekie konjungtiva, perdarahan retina, kebutaan, tanda endoftalmitis, panoftalmitis. Jari tabuh, splenomegali. Semua tanda yang disebutkan diatas tidak selalu ada pada penderita endokarditis (Hersunarti, 2003).
                Elektrokardiogram dan gambaran radiologis tergantung kelainan dasar jantung. Gangguan konduksi menunjukkan kemungkinan terjadinya abses atau endokarditis. Bila ada gagal jantung akan ditemukan pembesaran jantung dan tanda terdengar di paru (Hersunarti, 2003).
Diagnosis
                Investigasi diagnosis harus dilakukan jika pasien demam disertai satu atau lebih gejala kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan bukti proses endokard aktif, serta pasien dengan katup prostetik (Alwi, 2007). Diagnosis ditegakkan dari riwayat penyakit adanya panas pada penderita dengan lesi jantung, ditunjang pemeriksaan fisik dan laboratorium yang mendukung, dan diperkuat dengan terlihatnya vegetasi pada pemeriksaan ekokardiografi (Hersunarti, 2003).
                Pada anamnesis, keluhan tersering yang muncul adalah demam, kemudian keluhan lainnya yang muncul seperti menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah, penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi (Alwi, 2007).
                Pada pemeriksaan fisik yang cukup penting adalah ditemukannya murmur pada katup yang terlibat. Murmur yang khas adalah blowing holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar lebih jelas saat inspirasi. Tanda EI pada pemeriksaan fisik yang lain adalah tanda-tanda kelainan pada kulit yang telah disebutkan diatas (Alwi, 2007).
                Pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan hemoglobin rendah, lekositosis, laju endap darah (LED) meningkat, analisis urin menunjukkan hematuria dengan proteinuria. Pemeriksaan kultur darah untuk kuman baik aerob maupun anaerob (Hersunarti, 2003).
Komplikasi
                Komplikasi dapat berupa gagal jantung (tersering, 55%), emboli, gejala-gejala neurologis (dapat berupa stroke, kejang-kejang, gejala-gejala psikiatri, dan sebagainya) dan aneurisma mikotik (bila ada kerusakan dinding pembuluh darah karena proses peradangan). Aneurisma mikotik paling sering terjadi pada aorta, pembuluh darah daerah abdomen, pembuluh darah daerah ekstremitas dan pembuluh darah pada otak (Hersunarti, 2003).
Penatalaksanaan
Prinsip dasarnya adalah membasmi kuman penyebab secepat mungkin, tindakan operasi pada saat yang tepat bila diperlukan, dan mengobati komplikasi yang terjadi (Hersunarti, 2003).
Pada endokarditis bacterial subakut kondisi stabil, pemberian antibiotika sebaiknya menunggu hasil kultur tes resistensi. Bila kondisinya tidak stabil, atau pada endokarditis akut, perlu pemberian antibiotika secepat mungkin sesuai dengan standar antibiotika secara empiris, sesuai dengan gambaran klinisnya (Hersunarti, 2003).
Pencegahan
                Pemberian profilaksin antibiotika diberikan secara empiric pada pencabutan gigi atau pembedahan, untuk mencegah bakteremia pada pasien dengan lesi jantung, disesuaikan dengan kondisi pasien (Hersunarti, 2003).



Daftar Pustaka
Alwi, Idrus. 2007. Endokarditis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Fauci, A.S. Braunwald, E. Kasper, D.L. Hauser, S.L. Longo, D.L. 2008.  Harrison's: Principles of Internal Medicine 17th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies.
Hersunarti, N.B. 2003. Endokarditis dalam Rilantono, Lily Ismudiati. Baraas, Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono, Poppy Surwianti. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.

Thursday, November 11, 2010

Kulit: Dermatitis Atopik

SKENARIO 1: Gatal Kambuh-Kambuhan
DD : Dermatitis Atopik, Urtikaria
PENDAHULUAN
Atopi ialah kelainan dengan dasar genetik yang ditandai oleh kecenderungan individu untuk membentuk antibodi berupa imunoglobulin E (IgE) spesifik bila berhadapan dengan alergen yang umum dijumpai, serta kecenderungan untuk mendapatkan penyakit-penyakit asma, rhinitis alergika dan DA, serta beberapa bentuk urtikaria. Istilah atopi berasal dari kata atopos (out of place) (Ardhie, 2004).
Dermatitis atopik (D.A.) adalah peradangan kulit kronik dan residif dan disertai gatal, yang terkait dengan peningkatan kadar IgE dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Skenario
                Seorang anak laki-laki, usia 12 tahun datang diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan gatal sejak 2 minggu yang lalu. Gatal dirasakan di daerah lipat siku dan lipat lutut. Di daerah tersebut terdapat bercak-bercak kemerahan, keluhan ini bersifat kambuh-kambuhan sejak usia 1 tahun. Setiap kali kambuh diperiksakan ke dokter dan sembuh setelah diberi obat. Selain gatal-gatal penderita juga menderita asma yang mulai muncul pada usia 6 tahun. Ibunya mempunyai riwayat sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin.
                Pada pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritematosa, papul dan plakat yang disertai dengan erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut. Oleh dokter diberikan kortikosteroid topikal dan antihistamin oral. Pasien dianjurkan berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit untuk direncanakan skin prick test.
Rumusan Masalah
1.    Apa hubungan usia, riwayat asma, dan riwayat penyakit ibu pasien yang sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin?
2.    Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien?
3.    Bagaimana patofisiologi gejala klinis yang dialami pasien?
4.    Apa kemungkinan diagnosis banding pasien?
5.    Bagaimana penatalaksanaan dari keluhan pasien?
Hipotesis
Pasien mengalami peradangan kulit yang berhubungan dengan asma yang dideritanya dan riwayat kesehatan keluarga berupa bersin pagi hari atau bila cuaca dingin.

TINJAUAN PUSTAKA
Eritema, Papul, Plak, dan Erosi
                Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler yang reversibel (Budimulja, 2007).
Papul berupa penonjolan di permukaan kulit, sirkumskrip, diameter < 0,5 cm, berisi zat padat. Bentuknya bermacam-macam; setengah bola pada eksem atau dermatitis, kerucut pada keratosis folikularis, datar pada veruka plana juvenilis, datar berdasar polygonal pada liken planus, berduri pada veruka vulgaris, bertangkai pada fibroma pendulans dan veruka filiformis. Warna papul dapat merah akibat peradangan, pucat, hiperkrom, putih, atau seperti kulit di sekitarnya. Beberapa infiltrat mempunyai warna sendiri yang biasanya baru terlihat setelah eritema yang timbul bersamaan ditekan dan hilang (lupus, sifilis). Letak papul dapat epidermal atau kutan (Budimulja, 2007).
                Plak merupakan peninggian di permukaan kulit, permukaan rata, dan berisi zat padat (biasanya infiltrate), diameternya 2cm atau lebih. Contohnya papul yang melebar atau papul-papul yang berkonfluensi pada psoriasis (Budimulja, 2004).
                Erosi disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui stratum basal. Contohnya bila kulit digaruk sampai stratum spinosum akan keluar cairan sereus dari bekas garukan (Budimulja, 2004).
Tes Alergi dan Skin Prick Test
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi (Pawarti, 2004):
-          Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena alergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
-          Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga
-          Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut (Pawarti, 2004).
                Prosedur tes cukit adalah sebagai berikut. Tes Cukit ( Skin Prick Test ) seringkali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama-tama dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar, dan tandai area yang akan kita tetesi dengan ekstrak alergen. Ekstrak alergen diteteskan satu tetes larutan alergen ( Histamin/ Kontrol positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/ Kontrol negatif) menggunakan jarum ukuran 26 ½  G atau 27 G atau blood lancet. Selanjutnya, jarum dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul (Parwati, 2004; Krouse dan Marbry, 2003).
Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif palsu (Nelson et.al, 1998).
Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut (Pawarti, 2004; Nelson et.al, 1998):
1.    Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
2.    Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
3.    Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol.
4.    Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai ++++ (+4).
Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono sebagai berikut  (Pawarti, 2004; Rusmono, 2003):
-       0       : reaksi (-)
-       1+     : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
-       2+     : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
-       3+     : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)
-       4+     : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.
Patofisiologi Gatal
Rasa gatal diterima oleh akhiran saraf yang tidak spesifik pada pertemuan lapisan dermis dengan epidermis, yaitu reseptor gatal yang tidak bermielin.  Selanjutnya, serabut saraf menghantarkan rasa gatal memasuki cornu dorsalis pada substansia grisea pada medulla spinalis, yang bersinapsis dengan neuron sekunder yang menyilang ke tractus spinothalamicus kontralateral dan kemudian menuju thalamus. Kemudian neuron tersier menghantarkan sensasi gatal ke persepsi yang dirasakan secara sadar di cortex cerebri (Sharma et al, 2009).
Terdapat dua tipe sensasi gatal, yaitu sensasi gatal lokal dan sensasi gatal difus. Sensasi lokal bersifat spontan, hanya terjadi dalam waktu singkat setelah stimulus hilang, dan disampaikan oleh serabut delta ‘A’, yang bermyelin dan cepat menghantarkan stimulus. Sensasi difus melibatkan sekeliling area tertentu, dan tidak spontan, melainkan terangsang oleh sentuhan ringan atau stimulus kecil. Sensasi ini terasa tidak nyaman, patologis, yang disampaikan oleh serabut C yang tidak bermyelin dan lambat menghantarkan rangsang (Sharma et al., 2009).
Kemudian sensasi gatal diklasifikasikan kembali menjadi 4 (Sharma et al., 2009):
1.       Pruritoreseptif (kutaneus, contohnya karena scabies),
2.       Neuropatik (karena adanya lesi pada jalur aferen saraf, contohnya neuritis perifer, tumor otak),
3.       Neurogenik (karena mediator yang bersifat sentral yang tidak merusak system saraf pusat, contohnya peptide opioid pada kolestasis), dan
4.       Psikogenik.
Macam mediator kimia yang terlibat dalam mekanisme gatal yang dikemukakan adalah sebagai berikut (Sharma et al., 2009):
1.       Histamine
2.       Produk peptida dari protease
3.       Takikinin
4.       Peptida opioid dan naloxone
5.       Prostaglandin dan eikosanoid yang terkait
6.       Platelet Activating Factor (PAF)
7.       Sitokin
Hubungan Asma dengan Dermatitis Atopik
                Dermatitis atopic (DA) mendahului perkembangan asma dan rhinitis alergik, yang menunjukkan bahwa DA adalah “entry point” dari penyakit alergi berikutnya. Dalam penelitian yang menguji hubungan DA pada bayi, sensitisasi terhadap aeroallergen dan terdapatnya penyakit alergi saluran napas, 69% dari bayi yang mengalami DA pada 3 bulan pertama sejak lahir di kemudian hari tersensitisasi oleh aeroallergen dalam usia 5 tahun. Tingkat sensitisasi aeroallergen meningkat sampai 77% pada anak yang kedua orangtuanya mempunyai riwayat positif DA. Sampai usia 5 tahun, 50% anak dengan DA awal dan riwayat keluarga yang alergi mengalami penyakit pernapasan alergi. Tentu, hingga 80% anak dengan DA akan berkembang menjadi penyakit pernapasan alergi saat anak-anak. Pada 40-50% anak, penyakit pernapasan alergi ini bermanifestasi sebagai asma.  Diperkirakan bahwa 15-30% pasien dengan DA mengalami asma yang menetap (Eichenfield et.al, 2003).
                Anak dengan DA menetap mengalami asma yang lebih buruk daripada anak yang mengalami asma namun tidak mengalami DA.  Penelitian oleh Buffum dan Settipane mengidentifikasikan hubungan antara adanya DA dan prognosis asma di pada anak-anak. Evaluasi selama 10 tahun pada pasien asma tanpa DA menunjukkan bahwa 41% dalam keadaan baik, 52% mengalami asma ringan, dan 5% mengalami asma berat. Sebaliknya, diantara pasien asma dengan DA, 34% dalam keadaan baik, 54% mengalami asma ringan, dan 11% mengalami asma berat atau meninggal karena penyakit tersebut. (Eichenfield et.al, 2003).
                Dapat dinyatakan bahwa sensitisasi alergen melalui kulit pada pasien dengan DA juga menimbulkan respon sistemik alergi yang kuat, ditandai dengan kenaikan IgE, eosinofil, makrofag, dan sel T. Penanda biologi dari aktivasi leukosit telah terbukti berhubungan dengan keparahan DA dan juga berperan dalam alergi respiratorik pada individu yang secara genetis mempunyai predisposisi alergi (Eichenfield et.al, 2003).
                Secara ringkas, terdapat bukti yang kuat bahwa DA adalah faktor risiko untuk terjadinya asma pada masa anak-anak, derajat keparahan, dan juga persistensinya. Mekanisme DA mempengaruhi asma kemungkinan besar berhubungan dengan produksi awal IgE dan alergen-alergen yang disebabkan oleh reaktivitas IgE (Eichenfield et.al, 2003).
Dermatitis Atopik
Definisi. Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Epidemiologi. D.A. cenderung diturunkan. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat menjadi 79% jika kedua orang tua menderita atopi (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Etiopatogenesis. Berbagai faktor berpengaruh terhadap patogenesis DA, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik dan imunologik. Namun konsep dasar patogenesis DA adalah mekanisme imunologik, dibuktikan oleh peningkatan kadar IgE dan eosinofil (Sularsito dan Djuanda, 2007).
                Terdapat 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi (Sularsito dan Djuanda, 2007):
-       Kelas I             : gen predisposisi untuk atopi dan respon umum IgE.
-       Kelas II           : gen yang berpengaruh pada respon IgE spesifik.
-       Kelas III          : gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi (misalnya hiperresponsif bronchial)
-       Kelas IV          : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak diperantarai IgE.
Gambaran Klinis.  Kulit umumnya kering, pucat, kadar lipid epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Gejala utama DA adalah pruritus (gatal) yang hilang timbul, umumnya lebih hebat malam hari, akibatnya penderita akan menggaruk. Hal ini dapat menimbulkan kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta (Sularsito dan Djuanda, 2007).
DA dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu DA infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun), DA anak (usia 2 sampai 10 tahun), dan DA pada remaja dan dewasa (Sularsito dan Djuanda, 2007). Pada fase bayi lesi terutama pada wajah, sehingga dikenal sebagai eksim susu. Umumnya, lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta, dan dapat mengalami infeksi. Pada tipe anak, terutama pada daerah lipatan kulit, khususnya lipat siku dan lutut. Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, sedikit likenifikasi, dan skuama. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat menghambat pertumbuhan. Sedangkan pada tipe dewasa lebih sering dijumpai pada tangan, kelopak mata dan areola mamma, berupa papul eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lutut, dan samping leher, dahi, dan disekitar mata. Pada DA dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik (Ardhie, 2004; Sularsito dan Djuanda, 2007).
Diagnosis. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopic. Terdapat beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis DA, misalnya kriteria Hanifin dan Rajka, kriteria Williams, kriteria UK Working Party, SCORAD (the scoring of atopic dermatitis) dan EASI (the eczema area and severity index). Selama 2 dekade terakhir ini, berbagai upaya dilakukan untuk membuat standar evaluasi DA. Idealnya, kriteria ini harus efisien, sederhana, komprehensif, konsisten, dan fleksibel. Selain itu juga dapat menilai efektivitas terapi yang diberikan. Tetapi, kriteria yang sering digunakan karena relatif praktis ialah kriteria Hanifin dan Rajka. Pada criteria ini, diagnosis DA dietegakkan bila setidaknya dijumpai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor sebagai berikut (Ardhie, 2004):
Kriteria Mayor
1.     Pruritus Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
2.     Dermatitis di fleksura pada dewasa
3.     Dermatitis kronis atau residif
4.     Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kritera Minor
1.     Xerosis
2.     Infeksi kulit (S.aureus dan virus herpes simpleks)
3.     Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
4.     Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris
5.     Pitiriasis alba Dermatitis di papila mamme
6.     White dermographism dan delayed blanch response
7.     Keilitis Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
8.     Konjungtivitis berulang
9.     Keratokonus Katarak subkapsular anterior
10. Orbita menjadi gelap
11. Muka pucat atau eritem
12. Gatal bila berkeringat
13. Intolerens terhadap wol atau pelarut lemak
14. Aksentuasi perifolikular
15. Hipersensitif terhadap makanan
16. Perjalan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
17. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
18. Kadar IgE di dalam serum meningkat
19. Awitan pada usia dini Hetok sign

Pengobatan. Terapi berupa hidrasi kulit untuk mengatasi kulit kering dan fungsi sawar yang berkurang, yang dapat berakibat mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan, dan alergen. Kortikosteroid topikal paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Dapat digunakan juga immunomodulator topikal, juga preparat ter sebagai anti-pruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Kortikosteroid topikal sering dipakai pada pengobatan DA sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Pada bayi digunakan salap steroid potensi rendah, misalnya hidrokortison 1%-2,5%. Pada anak dan dewasa biasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka, daerah genitalia dan intertriginosa digunakan steroid potensi rendah. Antihistamin (AH) yang bekerja secara sistemik digunakan untuk mengurangi rasa gatal, terutama malam hari, yang mengganggu tidur, sehingga digunakan AH berefek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Urtikaria
Urtikaria adalah reaksi vascular di kulit akibat berbagai sebab, ditandai dengan edema setempat, warna pucat kemerahan, meninggi di permukaan kulit, dan sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif berupa rasa gatal, tersengat, atau tertusuk (Aisah, 2007).
Epidemiologi. Urtikaria dijumpai pada semua umur, dewasa lebih banyak daripada anak. Usia rata-rata penderita urtikaria adalah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal (Aisah, 2007).
Etiologi. Hampir 80% idiopatik, namun diduga diantaranya (Aisah, 2007):
1.       Obat, melalui reaksi imunologik tipe I dan II, seperti penisilin dan sulfonamide, serta non-imunologik melalui perangsangan sel mast untuk melepaskan histamin.
2.       Makanan, melalui reaksi imunologik.
3.       Gigitan/sengatan serangga, banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4.       Bahan fotosensitizer, misalnya griseofulvin, fenotiazin, dan sulfonamid.
5.       Inhalan, menimbulkan reaksi urtikaria alergik (tipe I), yang sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan napas.
6.       Kontaktan, yang menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.
7.       Trauma fisik, diakibatkan faktor dingin, faktor panas, dan faktor tekanan. Biasanya ditemukan di tempat yang mudah trauma.
8.       Infeksi dan infestasi, dapat ditimbulkan oleh toksin bakteri maupun oleh sensitisasi.
9.       Psikis, tekanan memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
10.   Genetik, namun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan.
11.   Penyakit sistemik, melalui reaksi kompleks antigen-antibodi, pada beberapa penyakit kolagen dan keganasan.
Klasifikasi. Urtikaria akut berlangsung selama kurang dari 6 minggu, atau apabila berlangsung selama 4 minggu tapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut disebut urtikaria kronik. Berdasarkan morfologi kilnis, urtikaria dibedakan menjadi papular jika berbentuk papul, gutata bila sebesar tetes air, dan girata bila ukurannya besar. Terdapat pula yang anular dan asinar. Menurut luas jaringan terkena, dibedakan menjadi urtikaria lokal, generalisata, dan angioedema (Aisah, 2007).
Menurut penyebab dan mekanisme terjadinya, urtikaria digolongkan menjadi (Aisah, 2007):
1.    Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a.    Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I), yaitu timbul pada atopi dan akibat antigen spesifik.
b.    Ikut sertanya komplemen, pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II), reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III), dan defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik).
c.     Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak).
2.    Urtikaria atas dasar reaksi non-imunologik
a.       Memacu sel mast sehingga melepas mediator.
b.      Bahan penyebab perubahan metabolisme asam arachidonat.
c.       Trauma fisik.
3.    Urtikaria idiopatik
Patogenesis. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan transudasi sehingga timbul edema dan tanda kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler diakibatkan pelepasan mediator oleh sel mast. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor imunologik maupun non-imunologik (Aisah, 2007).
Gejala Klinis. Keluhan gatal, rasa terbakar, atau raas tertusuk. Klinis, tampak eritema dan edema setempat batas tegas, kadang bagian tengah lebih pucat. Bentuk dapat papular, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam dapat disebut dengan angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena adalah muka, disertai sesak napas, serak, dan rhinitis (Aisah, 2007).
Diagnosis. Melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan. Pemeriksaan lain yang diperlukan untuk membuktikan penyebab urtikaria (Aisah, 2007):
1.       Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi.
2.       Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3.       Pemeriksaan IgE, eosinofil, dan komplemen.
4.       Tes kulit, uij gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal untuk mencari alergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5.       Tes eliminasi makanan.
6.       Pemeriksaan histopatologik.
7.       Tes foto tempel pada urtikaria fisik akibat sinar.
8.       Suntikan mecholyl intradermal untuk diagnosis urtikaria kolinergik.
9.       Tes dengan es.
10.   Tes dengan air hangat.
Pengobatan. Mengobati penyebab serta mengurangi kontak dengan penyebabnya. Pengobatan dengan antihistamin (AH) pada urtikaria sangat bermanfaat. Antihistamin golongan AH1 menyebabkan kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik, misalnya anti-pruritus dalam bedak atau bedak kocok (Aisah, 2007).
                Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti plasmin, menekan aktivitas plasmin yang timbul pada reaksi aktigen-antibodi. Preparat yang sering digunakan adalah ipsilon. Pengobatan dengan cara desensitisasi, dosis penyebab disesuaikan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh penderita. Pengobatan melalui eliminasi diet dicobakan pada yang sensitif terhadap makanan (Aisah, 2007).

PEMBAHASAN
Pada skenario, pasien yang berusia 12 tahun merasakan gatal di daerah lipat siku dan lipat lutut. Daerah ini merupakan tempat predileksi dermatitis atopik pada remaja dan dewasa (lebih dari 10 tahun). Bercak kemerahan yang timbul merupakan tanda terjadinya reaksi inflamasi pada kuli. Riwayat penyakit asma pada pasien dan riwayat bersin pagi hari serta apabila cuaca dingin mempunyai hubungan terkait dengan keluhan gatal-gatal yang dialami pasien. Keluhan gatal-gatal ini dapat disebut sebagai dermatitis atopik, karena pasien mempunyai riwayat atopik dalam keluarganya. Keluhan yang muncul sejak usia 1 tahun, memperkuat dugaan kuat dermatitis atopik, yang paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan.
                Pada pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritematosa, papul dan plakat yang disertai dengan erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut. Untuk meringankan rasa gatal, pasien menggaruk lesi, sehingga papul pecah dan menjadi erosi. Kortikosteroid topikal digunakan untuk mengurangi peradangan, sedangkan antihistamin oral digunakan untuk mencegah rilis histamine yang menimbulkan peradangan serta untuk menimbulkan efek sedatif pada pasien yang biasanya sulit tidur pada malam hari. Skin prick test dianjurkan dilakukan untuk mengetahui jenis alergen apa yang menimbulkan gejala klinis dan keluhan gatal yang dialami pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Ardhie, A.M. 2004. Dermatitis dan Peran Steroid Dalam Penatalaksanaannya dalam DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 17, Oktober - Desember 2004. Akses di http://www.unhas.ac.id/tahir/BAHAN-KULIAH/BIO-MEDICAL/BAHAN-UMUM/ECHOCARDIOGRAPHY%20%28%20SALEH%20-%20D411%2002%20050%20%29/REFERENSI/dermatitis.pdf
Budimulja, Unandar. 2007. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis dalam Djuanda, Adhi. Hamzah, Mochtar. Aisah, Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Eichenfield, L.F. Hanifin, J.M. Beck, L.A. Lemanske Jr, R.F. Sampson, H.A. Weiss, S.T. Leung, D.Y.M. 2003. Atopic Dermatitis and Asthma: Parallels in the Evolution of Treatment. Akses 29 Oktober 2010 di http://pediatrics.aappublications.org/cgi/reprint/111/3/608
Krouse JH, Marbry RL. 2003. Skin testing for Inhalant Allergy 2003 : current strategies. Otolaryngolo Head and Neck Surgary 2003 ; 129 No 4 : 34-9.
Nelson HS, Lah J, Buchmeier A, McCormick D. 1998. Evaluation of Devices for Skin prick Testing. J Allergy and Clin Immunol 1998; 101 : 153-6
Pawarti D.R. 2004. Tes Kulit dalam Diagnosis Rinitis Alergi, Media Perhati. Volume 10 2004; Vol 10 no 3 :18-23
Rusmono N. Diagnosis Rinitis Alergi secra invivo dan invitro. Dalam : Kursus dan Pelatihan Alergi dan Imunologi. Konas XIII Perhati – KL. Bali. 2003 ; 56-60
Sularsito, S.A. Djuanda, S. 2007. Dermatitis dalam Djuanda, Adhi. Hamzah, Mochtar. Aisah, Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.