Thursday, January 21, 2010

Field Lab: TB Paru

Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis

di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia dan merupakan penyebab utama kematian (Subagyo et.al, 2006). Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2007).

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per

100.000 penduduk (Depkes RI, 2007).

Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain program DOTS dimana Indonesia hampir mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85% diantaranya berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB di Indonesia, juga akan dilakukan program DOTS plus untuk menangani MDR TB (Aditama, 2006).

Tuberculosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya di Indonesia masih terbilang tinggi. Sebagai dokter, nantinya yang bertugas di Indonesia, mahasiswa harus memiliki kompetensi yang cukup tinggi apabila nantinya menemukan dan menghadapi sendiri adanya kasus Tuberculosis.

Pembelajaran Field Lab merupakan salah satu cara membekali mahasiswa agar siap berorientasi penuh pada masyarakat. Mahasiswa memperoleh berbagai tambahan ilmu dan pengalaman yang berharga dengan observasi langsung di lapangan, yang selanjutnya dapat diterapkan setelah lulus nanti.

B. Tujuan Pembelajaran

Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiwa mampu:

1. Mendemonstrasikan algoritma penemuan suspek dan kasus TB dengan strategi DOTS

2. Mendemonstrasikan alur pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS

3. Melakukan perhitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB

4. Mendemonstrasikan cara pemantauan dan evaluasi pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS

5. Mendemonstrasikan cara diagnosis dan pengobatan profilaksis TB anak.


BAB II

KEGIATAN YANG DILAKUKAN


  1. Kegiatan Pra-Lapangan

    Sebelum mengikuti kegiatan lapangan di Puskesmas Sidoharjo, mahasiswa mengikuti kegiatan pre-test tertulis yang dilaksanakan di FK UNS. Soal yang dikerjakan bersumber dari buku manual Field Lab yang telah diberikan sebelumnya. Pre-test tersebut dilaksanakan untuk menguji seberapa jauh materi yang telah dipahami oleh mahasiswa. Mahasiswa juga membuat Buku Rencana Kerja (BRK) yang berisi tentang tujuan dan prosedur kegiatan.

  2. Kegiatan Lapangan Hari Pertama (10 Desember 2009)

    Pada pertemuan pertama tanggal 10 Desember 2009, mahasiswa tiba di Puskesmas Sidoharjo pada pukul 07.00 WIB. Sebelum mahasiswa melaksanakan kegiatan, mahasiswa turut menghadiri apel pagi dilanjutkan dengan senam ringan yang dilaksanakan rutin di Puskesmas Sidoharjo setiap pagi, bersama dengan seluruh staf Puskesmas Sidoharjo.

    Setelah selesai mengikuti apel pagi bersama dengan seluruh staf Puskesmas Sidoharjo, mahasiswa kemudian diberi pengarahan oleh Kepala Puskesmas Sidoharjo, drg. Dwi Hatwi, dr. Rusnita dan Bapak Semu. drg. Dwi Hatwi memberikan pembukaan dan pengarahan awal, kemudian dr. Rusnita memberikan gambaran umum tentang TB, dilanjutkan dengan penjelasan Bapak Semu tentang prosedur teknis pelaksanaan pemberantasan TB di Kecamatan Sidoharjo.

    Pada prinsipnya, penjelasan yang diberikan oleh dr. Rusnita dan Bapak Semu merupakan penjabaran dan aplikasi dari buku manual Field Lab yang telah diberikan kepada mahasiswa. Akan tetapi, tidak semua teori pelaksanaan pengendalian TB dalam buku manual dapat dilaksanakan dengan sempurna, sehingga ada sedikit penyesuaian dalam penerapan di lapangan, khususnya di Puskesmas Sidoharjo. Kemudian penjelasan dan aplikasi lapangan yang dijelaskan oleh dr. Rusnita dan Bapak Semu selanjutkan akan penulis lebih jabarkan pada bab pembahasan.

    Selanjutnya, setelah mendapatkan penjelasan awal dari dr. Rusnita dan Bapak Semu, mahasiswa melaksanakann kunjungan ke ruang laboratorium di Puskesmas Sidoharjo dan diberi penjelasan oleh Ibu Farida yang merupakan laboran Puskesmas Sidoharjo seputar pemeriksaan sputum dan aplikasinya di lapangan.

    Setelah berkunjung ke laboratorium, mahasiswa kemudian mengunjungi Klinik Khusus, yang di Puskesmas Sidoharjo berfungsi untuk melayani pasien khusus misalnya pasien lanjut usia, pasien kusta, dan pasien TB. Di ruangan Klinik Khusus sudah tersimpan obat dari masing-masing pasien TB yang berada dalam daerah cakupan Puskesmas Sidoharjo yang akan diberikan kepada pasien secara berkala untuk sekaligus memantau perkembangan penyakitnya.



BAB III

HASIL


Data penduduk yang terdapat di wilayah cakupan Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen mempunyai rincian sebagai berikut:

No

Desa

KK

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1.

Sidoharjo

1.318

1.880

1.917

3.797

2.

Jetak

1.936

2.967

3.073

6.040

3.

Duyungan

1.833

2.578

2.692

5.270

4.

Purwosuman

1.921

2.862

3.101

5.963

5.

Bentak

993

1.611

1.670

3.281

6.

Patihan

2.008

3.197

3.223

6.420

7.

Tenggak

1.509

1.676

1.690

3.366

8.

Taraman

1.671

2.300

2.324

4.624

9.

Singopadu

1.149

1.745

1.791

3.536

10.

Jambanan

1.286

1.930

1.984

3.914

11.

Pandak

951

1.201

1.202

2.460

12.

Sribit

930

1.212

1.202

2.414

Jumlah

17.055

25.159

25.926

51.085


Sesuai dengan prosedur penghitungan yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan, Puskesmas Sidoharjo menentukan berbagai penghitungan perkiraan kasus dan target pasien TB. Dari perkiraan yang didapatkan, minimal 70% dari angka tersebut harus ditemukan.

Mahasiswa mendapatkan penjelasan dari Bapak Semu tentang prosedur penghitungan penting tentang TB yang dilaksanakan di Puskesmas Sidoharjo, yang mencakup:

  1. Penentuan Perkiraan Jumlah Pasien BTA positif yang ada di Puskesmas Sidoharjo


Jumlah penduduk dalam lingkup kerja Puskesmas Sidoharjo adalah 51.085 orang.


Sehingga target jumlah pasien BTA positif yang harus ditemukan oleh Puskesmas adalah minimal 70% dari jumlah perkiraan pasien BTA positif:


  1. Cara penjaringan suspek TB

    Untuk setiap 1 orang pasien TB BTA positif diperkirakan ada 10 suspek TB yang harus dilakukan pemeriksaan.

    55 x 10 = 550 suspek

    Target suspek 70%, sehingga

    39 x 10 = 390 suspek

  2. Case Notification Rate (CNR)

    Adalah persentase dari jumlah pasien TB BTA positif dari seluruh penduduk dalam cakupan Puskesmas.


  3. Case Detection Rate (CDR)

    Adalah persentase dari jumlah pasien TB BTA positif dari target perkiraan jumlah penduduk yang menderita TB BTA positif.


    CDR dari 70% target perkiraan jumlah penduduk yang menderita TB BTA positif yang ditemukan:




BAB IV

PEMBAHASAN


Penyakit TB telah menjadi iceberg phenomenon, yang terlihat cukup baik dari permukaan, namun masih menyimpan permasalahan besar yang belum ditemukan sehingga perlu penanganan yang lebih intensif. Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen mempunyai target minimal menemukan 10% hasil positif TB dari jumlah masyarakat dalam wilayah cakupan Puskesmas, sehingga apabila tidak ditemukan adanya kasus baru dalam pemeriksaan di Puskesmas, pihak Puskesmas bergerak lebih aktif mencari ke masyarakat dengan cara mengadakan penyuluhan, dan pemantauan dari rumah ke rumah. Untuk satu penderita TB BTA positif, diperkirakan ada sepuluh suspek.

Penjaringan TB paru di Puskesmas Sidoharjo terdapat dalam dua cara: 1) melalui pemeriksaan di Puskesmas sendiri; dan 2) melalui rujukan dari RS atau BKPM (Balai Kesehatan Paru Masyarakat) dari kota atau kabupaten, yang nantinya akan dirujuk ke Puskesmas sesuai dengan kecamatan dimana penderita tinggal. Sedangkan melalui lintas program, penjaringan Puskesmas Sidoharjo dibagi menjadi dua cara, yaitu 1) aktif, yaitu petugas Puskesmas yang datang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, dan 2) pasif, yaitu penderita yang datang ke Puskesmas untuk memeriksakan diri.

Alur diagnosis TB paru di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen secara garis besar sama seperti alur dalam buku manual Field Lab, namun untuk diagnosis TB anak, Puskesmas Sidoharjo tidak dapat menentukan diagnosis dengan prosedur scoring dengan tepat, sehingga disarankan agar suspek TB anak dirujuk ke Rumah Sakit. Selanjutnya apabila pasien atau keluarga pasien menginginkan pelaksanaan terapi di Puskesmas, keluarga pasien dapat meminta surat pengantar untuk pelaksanaan terapi di Puskesmas. Selanjutnya, Puskesmas Sidoharjo dapat melaksanakan dan memantau terapi TB anak hingga selesai. Begitu juga dengan pasien TB ekstra paru, Puskesmas Sidoharjo dapat melaksanakan terapi, tetapi diagnosisnya hanya menerima surat pengantar terapi yang diagnosisnya telah ditetapkan di unit pelayanan yang lebih professional, seperti Rumah Sakit atau dokter spesialis.

Pasien yang datang pertama kali dari Poliklinik Umum, kemudian apabila setelah dilakukan pemeriksaan sputum menghasilkan hasil yang TB BTA positif, maka kemudian perawatan pasien tersebut selanjutnya dipindahkan ke Klinik Khusus agar memudahkan pemantauan yang dilaksanakan oleh pihak Puskesmas. Adanya Klinik Khusus ini bertujuan untuk memantau pasien lebih intensif tanpa membuat pasien merasa terkucilkan, dan tetap merasa nyaman dengan terapi yang sedang dijalani.

Pada umumnya, jika gejala yang timbul sudah cukup banyak dan sangat menyerupai gejala TB, maka pemeriksaan sputum menunjukkan hasil yang positif. Pemeriksaan sputum merupakan gold standar dari diagnosis TB, sehingga diagnosis TB harus berdasarkan hasil pemeriksaan sputum yang BTA positif, namun apabila gejala sudah sangat mendekati, dan hasil rontgen menunjukkan hasil positif TB, maka hasil pemeriksaan sputum yang negatif juga dapat mengarah pada kesimpulan positif TB. Puskesmas Sidoharjo mempunyai fasilitas laboratorium yang sudah dapat melaksanakan pemeriksaan sputum untuk TB, namun untuk fasilitas rontgen dan uji tuberculin, Puskesmas Sidoharjo belum mempunyai fasilitas tersebut, sehingga untuk pemeriksaan rontgen dan uji tuberculin, Puskesmas Sidoharjo merujuk pasien ke Rumah Sakit (RS).

Pemeriksaan sputum dilaksanakan empat kali, yaitu pada pemeriksaan awal (waktu penyaringan), seminggu sebelum akhir terapi intensif (akhir bulan kedua), seminggu sebelum akhir bulan kelima, dan seminggu sebelum akhir bulan keenam (akhir terapi lanjutan).

Pada pemeriksaan sputum, yang menggunakan prinsip sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), pada waktu pertama kali pasien datang, setelah melakukan pengeluaran dahak sewaktu, kemudian pada waktu pasien pulang pasien diberikan dua pot (tempat) sputum untuk digunakan menampung dahak yang akan diserahkan pada kunjungan selanjutnya.

Ada kriteria penentuan positif-negatif dari pemeriksaan sputum, yang ditentukan oleh IUALC. Apabila dari pemeriksaan SPS pertama kali, hasil yang positif hanya satu spesimen, sebaiknya pemeriksaan diulang. Pada umumnya, specimen yang menghasilkan hasil yang hampir selalu positif adalah sputum yang diambil waktu pagi hari (P).


Pemberian obat untuk terapi TB pada pasien di Puskesmas Sidoharjo seperti pada umumnya terapi medikamentosa, disertai dengan edukasi tentang waktu minum obat dan cara mengatasi gangguan atau keluhan yang muncul akibat efek samping obat. Misalnya, jika pekerjaan pasien dilakukan pada siang hari, maka waktu minum obat dilaksanakan pada malam hari. Kemudian jika timbul efek samping seperti mual dan muntah maka sebaiknya diberikan terapi simtomatik untuk menghentikan gangguan tersebut, kemudian setelah gangguan hilang, terapi tetap dapat dilanjutkan. Untuk mengawasi kepatuhan pasien dalam meminum obat, pasien tidak diberikan satu paket penuh Obat Anti Tuberculosis (OAT) yang digunakan untuk enam bulan kedepan, tetapi paket tersebut disimpan oleh Puskesmas. Pasien kemudian secara teratur datang ke Puskesmas setiap sepuluh hari sekali untuk mengambil OAT sekaligus melakukan pemeriksaan kontrol.

Apabila ditemui kejadian pasien kambuh, apabila setelah sembuh pasien kembali menderita TB dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, maka pasien diberikan terapi OAT kategori 2. Akan tetapi apabila kurun waktu kambuhnya lebih dari 5 tahun, maka pasien masih dapat diberikan terapi OAT kategori 1. Namun, Puskesmas Sidoharjo selama ini hanya menemukan pasien dengan kriteria yang cocok untuk diberikan terapi OAT kategori 1. Belum ada pasien yang terindikasi harus diberikan OAT kategori 2.



BAB V

PENUTUP


A. Kesimpulan

Pelaksanaan kegiatan Field Lab dengan topik Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis di Puskesmas Sidoharjo Sragen sudah berlangsung cukup baik dan edukatif. Mahasiswa dapat mencapai seluruh kompetensi dalam tujuan pembelajaran. Permasalahan di lapangan serta pemecahannya yang belum pernah didapatkan secara formal dalam pembelajaran dalam kegiatan perkuliahan, merupakan pengalaman yang penting untuk bekal pengabdian mahasiswa kelak sebagai dokter.

B. Saran

Sebaiknya kegiatan Field Lab topik Pengendalian Penyakit Menular TB di Puskesmas Sidoharjo juga dilengkapi dengan kegiatan kunjungan ke rumah penderita TB yang telah tersaring di Puskesmas, untuk menjaring suspek TB di lingkungan sekitar rumah pasien TB.

Kegiatan Field Lab ini juga mungkin akan lebih baik lagi jika dilaksanakan dalam waktu lebih dari 2 pertemuan, karena waktu yang sempit mengakibatkan mahasiswa tidak dapat melaksanakan kegiatan Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis dengan sempurna.




DAFTAR PUSTAKA


Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman dalam Jurnal Tuberculosis Indonesia vol. 3 nomor 2. Diakses di http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf pada 11 Desember 2009, 21:22.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.

Tim Field Lab FK UNS dan UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2009. Manual Field Lab, Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis. Surakarta: Field Lab FK UNS.




Lampiran 1

Form. TB-05

Neoplasma: Carcinoma Mammae

"Carcinoma Mammae"


 

BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. LATAR BELAKANG

        Kanker adalah penyakit dimana sel-sel ganas beranak-pinak berupa keturunan yang bersifat ganas pula (Karsono, 2007).
    Kanker payudara banyak dijumpai di Indonesia khususnya pada wanita, merupakan kanker terbanyak kedua setelah kanker mulut rahim. Insiden kanker payudara kira-kira sebanyak 18 per 100.000 penduduk wanita, dengan insiden seluruh kanker di Indonesia diperkirakan 180 per 100.000 penduduk. Pria juga mungkin mendapat kanker payudara, dengan kemungkinan 1:100 dari wanita (Haryana dan Soesatyo, 1993).

    Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:

            Seorang wanita 45 tahun, seorang pekerja di perusahaan batik, dirujuk ke dokter ahli bedah dengan benjolan di payudara kirinya. Benjolan ini baru dirasakan 6 bulan terakhir, makin
    bertambah besar dan kadang-kadang disertai nyeri.

            Saat penderita di SMA pernah mengalami operasi tumor payudara kanan
    yang dinyatakan
    tidak ganas. Setelah operasi penderita disarankan oleh dokter untuk melakukan SADARI secara rutin. Terdapat riwayat keluarga, Ibu dan kakak penderita meninggal dengan tumor payudara. Suami penderita adalah perokok berat.

            Pemeriksaan dokter didapati: benjolan pada mammae sinistra kuadran lateral atas terdapat perubahan gambaran sebagian kulit seperti kulit jeruk, retraksi puting susu dan teraba benjolan sebesar telur ayam, solid, terfiksir dan tidak berbatas jelas dengan jaringan sekitarnya. Bekas operasi pada mammae kanan tidak tampak jelas. Pada pemeriksaan aksila kiri teraba benjolan berdiameter 1 cm
    yang tidak nyeri. Aksila kanan tidak didapati kelainan.

            Dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang sebelum tindakan mastektomi kiri. Selanjutnya jaringan hasil operasi dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi untuk mendapatkan diagnosa pasti.

  2. RUMUSAN MASALAH
    1. Apakah definisi dan pengertian neoplasma?
    2. Apa saja faktor risiko dan predisposisi terjadinya carcinoma?
    3. Bagaimanakah patogenesis terjadinya carcinoma?
    4. Bagaimanakah klasifikasi neoplasma?
    5. Bagaimanakah anatomi, histologi, dan fisiologi mammae?
    6. Bagaimana diagnosis carcinoma mammae?
    7. Bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat untuk carcinoma mammae?
  3. TUJUAN PENULISAN
    1. Mengetahui definisi dan pengertian neoplasma.
    2. Mengetahui berbagai faktor risiko dan predisposisi terjadinya carcinoma.
    3. Mengetahui patogenesis terjadinya carcinoma.
    4. Mengetahui klasifikasi neoplasma.
    5. Mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi mammae.
    6. Mengetahui diagnosis carcinoma mammae.
    7. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat untuk carcinoma mammae.
  4. MANFAAT PENULISAN

    Mahasiswa mampu:

  • Menjelaskan definisi dan epidemiologi neoplasma
  • Menjelaskan macam faktor dan risiko penyebab neoplasma
  • Menjelaskan gejala dan tanda (local symptom, systemic symptom, and metastatic symptom)
  • Menjelaskan macam-macam proses dan diagnosis neoplasma
  1. HIPOTESIS

    Pasien dalam kasus diatas menderita carcinoma mammae.


     

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA


     

  2. Definisi Neoplasma

        Neoplasma ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya, dan tidak berguna bagi tubuh. Dalam klinik, istilah tumor sering digunakan untuk semua tonjolan dan diartikan sebagai pembengkakan, yang dapat disebabkan baik oleh neoplasma maupun oleh radang, atau perdarahan. Neoplasma membentuk tonjolan, tetapi tidak semua tonjolan disebabkan oleh neoplasma (Tjarta dkk, 1973). Sel- sel neoplasma berasal dari sel- sel yang sebelumnya adalah sel- sel normal, namun menjadi abnormal akibat perubahan neoplastik (Price dan Wilson, 2006).

  3. Faktor Risiko dan Predisposisi Terjadinya Carcinoma

    Faktor predisposisi terjadinya carcinoma:

    1. Faktor geografik dan lingkungan

      Karsinogen lingkungan banyak ditemukan di lingkungan sekitar. Contohnya seperti sinar matahari, dapat ditemukan terutama di perkotaan, atau terbatas pada pekerjaan tertentu. Hal tertentu dalam makanan dilaporkan mungkin merupakan faktor predisposisi. Termasuk diantaranya merokok dan konsumsi alkohol kronik.

    2. Usia

      Secara umum, frekuensi kanker meningkat seiring pertambahan usia. Hal ini terjadi akibat akumulasi mutasi somatik yang disebabkan oleh berkembangnya neoplasma ganas. Menurunnya kompetensi imunitas yang menyertai penuaan juga mungkin berperan.

    3. Hereditas

      Saat ini terbukti bahwa pada banyak jenis kanker, terdapat tidak saja pengaruh lingkungan, tetapi juga predisposisi herediter. Bentuk herediter kanker dapat dibagi menjadi tiga kategori.

      Sindrom kanker herediter, pewarisan satu gen mutannya akan sangat meningkatkan risiko terjangkitnya kanker yang bersangkutan. Predisposisinya memperlihatkan pola pewarisan dominan autosomal.

      Kanker familial, kanker ini tidak disertai fenotipe penanda tertentu. Contohnya mencakup karsinoma kolon, payudara, ovarium, dan otak. Kanker familial tertentu dapat dikaitkan dengan pewarisan gen mutan. Contohnya keterkaitan gen BRCA1 dan BRCA2 dengan kanker payudara dan ovarium familial.

      Sindrom resesif autosomal gangguan perbaikan DNA. Selain kelainan prakanker yang diwariskan secara dominan, sekelompok kecil gangguan resesif autosomal secara kolektif memperlihatkan cirri instabilitas kromosom atau DNA (Kumar dkk, 2007).

        Faktor- Faktor Risiko Karsinoma Payudara diantaranya mencakup usia, lokasi geografis, ras, status sosioekonomi, status perkawinan, paritas, riwayat menstruasi, riwayat keluarga, bentuk tubuh, penyakit payudara lain, terpajan radiasi, dan kanker primer kedua (Price dan Wilson, 2006).

    Berdasarkan etiologinya, patogenesis karsinogenesis dapat disebabkan oleh 1) Karsinogen kimiawi, 2) Virus, 3) Karsinogen fisik, 4) Hormon, dan 5) Kokarsinogen, berupa: Diet, Umur, Keturunan, Rangsang menahun, dan Trauma (Tjarta dkk, 1973).

  4. Patogenesis Terjadinya Carcinoma (Karsinogenesis)

    Model klasik karsinogenesis membagi proses menjadi 3 tahap: inisiasi, promosi, progresi. Inisiasi adalah proses yang melibatkan mutasi genetik yang menjadi permanen dalam DNA sel. Promosi adalah suatu tahap ketika sel mutan berproliferasi. Progresi adalah tahap ketika klon sel mutan mendapatkan satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas seiring berkembangnya tumor, sel menjadi lebih heterogen akibat mutasi tambahan. Selama stadium porgresif, massa tumor yang meluas mendapat lebih banyak perubahan yang memungkinkan tumor mnginvasi jaringan yang berdekatan, membentuk pasokan darah sendiri (angiogenesis), penetrasi ke pembuluh darah, dan bermetastasis untuk membentuk tumor sekunder (Price dan Wilson, 2006).

    Dalam kondisi fisiologis normal, mekanisme sinyal sel yang memulai proliferasi sel dapat dibagi menjadi langkah- langkah sebagai berikut: (1) factor pertumbuhan, terikat pada reseptor khusus pada permukaan sel; (2) reseptor factor pertumbuhan diaktifkan yang sebaliknya mengaktifkan beberapa protein transduser; (3) sinyal ditransmisikan melewati sitosol melalui second messager menuju inti sel; (4) factor transkripsi inti yang memulai pengaktifan transkripsi asam deoksiribonukleat (DNA).

    Ketika keadaan menguntungkan untuk pertumbuhan sel, sel terus melalui fase replikasi sel, Siklus sel tersebut dibagi menjadi empat fase: G1 (gap 1), S (sintesis), G2 (gap 2), dan M (mitosis). Sel tidak aktif yang terdapat dalam keadaan tidak membelah disebut G 0.

    Proses dasar yang sering terdapat pada semua neoplasma adalah perubahan gen yang disebabkan oleh mutasi pada sel somatik. Ada empat golongan gen yang memainkan peranan penting dalam mengatur sinyal mekanisme faktor pertumbuhan dan siklus sel itu sendiri, yaitu protoonkogen, gen supresi tumor, gen yang mengatur apoptosis, dan gen yang memperbaiki DNA.

  • Protoonkogen, berfungsi untuk mendorong dan meningkatkan pertumbuhan normal dan pembelahan sel. Sel yang memperlihatkan bentuk mutasi dari gen ini disebut onkogen dan memiliki kemungkinan yang besar untuk berkembang menjadi ganas setelah pembelahan sel dalam jumlah yang terbatas.
  • Gen- Gen Supresor Tumor, berfungsi untuk menghambat atau "mengambil kerusakan" pada pertumbuhan sel dan siklus pembelahan. Mutasi pada gen supresor tumor menyebabkan sel mengabaikan satu atau lebih komponen jaringan sinyal penghambat, memindahkan kerusakan dari siklus sel dan menyebabkan angka yang tinggi dari pertumbuhan yang tidak terkontrol–kanker. Neoplasia adalah akibat dari hilangnya fungsi kedua gen supresor tumor. Gen supresor tumor Rb yang menyandi protein pRb penting untuk mengontrol siklus sel (master brake) pada titik pemeriksaan G1-S, sedangkan gen TP53 (yang mengkode untuk protein p53) adalah emergency brake di titik pemeriksaan G1-S namun biasanya tidak dalam perjalanan replikasi normal. Tapi bila terjadi kerusakan DNA, p53 akan memengaruhi transkripsi untuk menghentikan siklus sel (melalui ekspresi p21). Jika kerusakan terlalu berat, maka p53 merangsang apoptosis. Contoh lain gen supresor tumor adalah BRCA1 dan BRCA2 yang berkaitan dengan kanker payudara dan ovarium.
  • Gen- Gen yang Mengatur Apoptosis. Kerja gen ini mengatur apoptosis, dengan menghambat apoptosis, mirip dengan gen bcl-2, sedangkan yang lain meningkatkan apoptosis (seperti sebagai bad atau bax).
  • Gen- Gen Perbaikan DNA. Mutasi dalam gen perbaikan DNA dapat menyebabkan kegagalan perbaikan DNA, yang pada gilirannya memungkinkan mutasi selanjutnya pada gen supresor tumor dan protoonkogen untuk menumpuk. (Price dan Wilson, 2006).
  1. Klasifikasi Neoplasma

        Dalam penggunaan istilah kedokteran yang umum, neoplasma sering disebut sebagai tumor. Dalam onkologi (ilmu yang mempelajari tentang tumor), tumor dikategorikan jinak (benigna) dan ganas (maligna). Tumor ganas secara kolektif disebut juga sebagai kanker (Kumar dkk, 2007).

    Karakteristik

    Jinak

    Ganas

    Diferensiasi/ anaplasia

    Berdiferensiasi baik; struktur mungkin khas jaringan asal

    Sebagian tidak memperlihatkan diferensiasi disertai anaplasia; struktur sering tidak khas

    Laju pertumbuhan

    Biasanya progresif dan lambat

    Tidak terduga dan mungkin cepat atau lambat

    Invasi local

    Biasanya kohesif dan ekspansif, massa berbatas tegas yang tidak menginvasi atau menginfiltrasi jaringan normal di sekitarnya

    Invasi lokal, menginfiltrasi jaringan normal di sekitarnya; kadang- kadang mungkin tampak kohesif dan ekspansif tetapi dengan jarak mikroskopik

    Metastasis

    Tidak ada

    Sering ditemukan; semakin besar dan semakin kurang berdiferensiasi tumor primer, semakin besar kemungkinan metastasis

    (Kumar dkk, 2007).

        Klasifikasi neoplasma umumnya dipakai berdasarkan gambaran histologik. Untuk tumor jinak dinamai dengan menambahkan akhiran –oma pada nama sel tempat tumor itu berasal. Tumor ganas dinamai seperti tumor jinak dengan tambahan dibelakangnya. Tumor ganas yang berasal dari jaringan mesenchym disebut sarcoma. Misalnya, tumor ganas jaringan ikat disebut fibro-sarcoma. Tumor ganas yang berasal dari ketiga lapis benih disebut carcinoma. Tumor ganas yang membentuk kelenjar seperti yang terlihat pada gambaran mikroskopik disebut adenocarcinoma dan pembagian lebih lanjut berdasarkan asal alat tubuhnya. (Tjarta dkk, 1973). (Detail klasifikasi dilampirkan)

  2. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Mammae

        Mammae terdiri dari berbagai struktur, yaitu 1) Parenkim epitel, 2) Lemak, pembuluh darah, saraf dan saluran getah bening, dan 3) Otot dan fascia (Guyton dan Hall, 2007). Kelenjar mammae dewasa adalah kelenjar tubuloalveolar kompleks yang terdiri atas ±20 lobi. Semua lobi berhubungan dengan duktus laktiferus yang bermuara di puting susu. Lobi dipisahkan oleh sekat-sekat jaringan ikat dan jaringan lemak (Eroschenko, 2003).

        Mammae dibungkus oleh fasiapektoralis superficial dimana permukaan dan posterior dihubungkan oleh ligamentum cooper yang berfungsi sebagai penyangga.

        Mammae mulai berkembang saat pubertas, yang distimulasi oleh estrogen yang berasal dari siklus seksual wanita bulanan; estrogen merangsang pertumbuhan kelenjar mammaria payudara ditambah dengan deposit lemak untuk memberi massa payudara. Pertumbuhan yang lebih besar terjadi selama kehamilan. Selama kehamilan, sejumlah besar estrogen disekresikan oleh plasenta sehingga sistem duktus payudara tumbuh dan bercabang. Secara bersamaan, stroma payudara juga bertambah besar dan sejumlah besar lemak terdapat di dalam stroma. Empat hormon lain yang juga penting untuk pertumbuhan sistem duktus: hormon pertumbuhan, prolaktin, glukokortikoid adrenal, dan insulin. Perkembangan akhir mammae menjadi organ yang menyekresi air susu juga memerlukan progesteron. Sekali sistem duktus telah berkembang, progesteron—bekerja secara sinergistik dengan estrogen, juga dengan semua hormon-hormon lain yang beru disebutkan di atas—menyebabkan pertumbuhan lobulus payudara, dengan pertunasan alveolus, dan perkembangan sifat-sifat sekresi dari sel-sel alveoli (Guyton dan Hall, 2007). Penurunan mendadak estrogen dan progesteron yang terjadi seiring dengan keluarnya plasenta pada persalinan memicu laktasi. Setelah persalinan, laktasi dipertahankan oleh dua hormon penting: (1) prolaktin, yang bekerja pada epitel alveolus untuk meningkatkan sekresi susu, dan (2) oksitosin, yang menyebabkan penyemprotan susu (Sheerwood, 2001)

  3. Diagnosis Carcinoma Mammae

        Berikut adalah beberapa penyakit tumor pada payudara yang bukan merupakan pertumbuhan abnormal (bukan neoplasma):

  4. Peradangan. Biasanya menimbulkan nyeri spontan dan nyeri tekan di bagian yang terkena. Contoh peradangan payudara adalah Mastitis dan nekrosis lemak traumatik. Peradangan tersebut dapat terjadi akibat proses infeksi maupun bukan infeksi (Kumar dkk, 2007; Price dan Wilson, 2006)
  5. Galactocele. Adalah dilatasi kistik suatu duktus yang tersumbat yang terbentuk selama masa laktasi. Selain menyebabkan "benjolan" yang nyeri, kista mungkin pecah sehingga memicu reaksi peradangan lokal (Kumar dkk, 2007)
  6. Perubahan Fibrokistik (Mammary dysplasia). Adalah kelainan akibat dari peningkatan dan distorsi perubahan siklik payudara yang terjadi secara normal selama daur haid. Perubahan fibrokistik dibagi menjadi perubahan nonproliferatif dan perubahan proliferatif (Kumar dkk, 2007)

    Berikut adalah tumor payudara yang disebabkan pertumbuhan jaringan abnormal (neoplasma):

  7. Fibroadenoma mammae (FAM). Adalah tumor jinak tersering pada payudara dan umumnya menyerang para remaja dan wanita dengan usia <30 tahun. Berbatas tegas, konsistensi padat kenyal, muncul sebagai nodus diskret, biasanya tunggal, mudah digerakkan, dan diameter 1-10 cm (Kumar dkk, 2007; Price dan Wilson, 2006)
  8. Tumor Filoides. Diperkirakan berasal dari stroma intralobulus, jarang dari fibroadenoma yang sudah ada. Tumor ini mungkin kecil (diameter 3 hingga 4 cm), tetapi sebagian besar tumbuh hingga berukuran besar / masif sehingga payudara membesar. Sebagian besar tumor ini tetap lokalisata dan disembuhkan dengan eksisi (Kumar dkk, 2007)

  9. Papiloma Intraduktus. Adalah pertumbuhan tumor neoplastik di dalam suatu duktus. Gejala klinis berupa : (1) keluarnya discharge serosa atau berdarah dari puting payudara; (2) adanya tumor subareola kecil, atau (3) retraksi puting payudara (jarang terjadi) (Kumar et al, 2007)

  10. Karsinoma
  11. Carcinoma Mammae

        Kanker payudara memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasia sel dengan perkembangan sel-sel yang atipikal. Sel-sel ini kemudian berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma. Kanker membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk dapat dipalpasi (kira-kira berdiameter 1 cm).

        Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan namun terdapat beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan, keduanya adalah lingkungan dan genetik. Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara adalah tempat tinggal di negara berkembang bagian barat, keadaan sosial ekonomi yang rendah, ras, riwayat penyakit payudara proliferatif, awitan dini menarke, terlambatnya kelahiran anak pertama, menopause yang terlambat, keadaan nulipara, terapi hormon eksogen, terpajan radiasi, dan faktor-faktor makanan (obesitas dan asupan alkohol yang tinggi) (Price dan Wilson, 2006)

        Pada keluarga dengan riwayat kanker payudara yang kuat, banyak perempuan memiliki mutasi dalam gen kanker payudara, yang disebut BRCA-1 (di kromosom 17q21.3). Pola keturunan adalah dominan autosomal dan dapat diturunkan melalui garis maternal maupun paternal. Sindrom kanker payudara familial lainnya berkaitan dengan gen pada kromosom 13, yang disebut BRCA-2 (di kromosom 13q12-13). Kedua gen ini diperkirakan berperan penting dalam perbaikan DNA. Keduanya bekerja sebagai gen penekan tumor, karena kanker muncul jika kedua alel inaktif atau cacat – pertama disebabkan oleh mutasi sel germinativum dan kedua oleh sel somatik berikutnya.

        Kanker payudara dibagi menjadi kanker yang belum menembus membran basal (noninvasif) dan kanker yang sudah menembus membran basal (invasif). Karsinoma noninvasif diklasifikasikan menjadi : karsinoma duktus in situ (DCI), karsinoma intraduktu, dan karsinoma lobulus in situ (LCIS). Karsinoma invasif diklasifikasikan menjadi : karsinoma duktus invasif, karsinoma lobulus invasif, karsinoma medularis, karsinoma koloid (karsinoma musinosa), karsinoma tubulus, dan tipe lain. Dari tumor-tumor ini, karsinoma duktus invasif merupakan jenis tersering. Karena biasanya memiliki banyak stroma, karsinoma ini juga disebut sebagai scirrhous carcinoma (Kumar dkk, 2007; Price dan Wilson, 2006).

  12. Penatalaksanaan Carcinoma Mammae

    Terapi Bedah. Pasien yang pada awal terapi termasuk stadium 0, I, II, dan sebagian stadium III disebut kanker mamae operabel. Terdapat banyak pilihan pola operasi mastektomi, pilihan didasarkan pada stadium dengan syarat harus dapat mereseksi tuntas tumor. Secara umum, terhadap lesi <3cm dan kelenjar limfe aksiler tidak jelas membesar, harus lebih mempertimbangkan terapi kombinasi konservasi mamae, kalau tidak lebih mempertimbangkan operasi radikal modifikasi.

        Radioterapi. Ada 3 tujuan radioterapi, yaitu radioterapi murni kuratif, radioterapi adjuvan, dan radioterapi paliatif. Untuk radioterapi kuratif, terutama digunakan untuk pasien dengan kontraindikasi atau menolak operasi.

        Kemoterapi. Dibagi menjadi kemoterapi pra-operasi, kemoterapi adjuvan pasca operasi, dan kemoterapi terhadap kanker mamae stadium lanjut atau rekuren dan metastasis (BA Onkologi Klinis)

        Terapi Hormonal. Ada berbagai obat hormonal yang diindikasikan sebagai terapi kanker yang responsif hormon, seperti kanker payudara, prostat, atau endometrium. Untuk kanker payudara, contohnya adalah tamoksifen dan aromatase inhibitor (Sutandyo, 2007).

        Terapi biologis. Overekspresi onkogen berperanan penting dalam timbul dan berkembangnya tumor, antibody monoclonal yang dihasilkan melalui teknik transgenetik dapat menghambat perkembangan tumor (BA Onkologi Klinis).


     

    BAB III

    PEMBAHASAN


     

        Dari anamnesis dasar dan keluhan pasien dalam skenario, penulis mendapatkan informasi bahwa terdapat keluhan benjolan di payudara yang belum diketahui apakah berupa benjolan neoplasmik atau non-neoplasmik.

        Wanita 45 tahun. Diketahui bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang lebih rentan terkena neoplasma, karena telah terpapar karsinogen dan berbagai faktor lainnya lebih lama daripada orang yang berusia lebih muda. Karena itu juga, apabila terjadi mutasi, mutasi tersebut sudah terakumulasi sejak lama. Selain itu, system imunitas menurun, sehingga kemungkinan terkena neoplasma dari etiologi virus mungkin saja terjadi.

        Pekerja di perusahaan batik. Pewarna batik yang dewasa ini digunakan merupakan pewarna kimia, yang salah satunya berbahan senyawa aromatic amin, yang mempunyai sifat karsinogenik.

            Benjolan di payudara kiri, dirasakan 6 bulan terakhir, bertambah besar dan kadang-kadang disertai nyeri. Hal ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya paparan terhadap hormon maupun karsinogen. Nyeri timbul akibat mammae yang dipersarafi berbagai saraf tersebut tertekan oleh massa tumor.

            Saat penderita di SMA pernah mengalami operasi tumor payudara kanan
    yang dinyatakan
    tidak ganas. Predisposisi terjadinya carcinoma mammae (tumor ganas) pada orang yang pernah menderita tumor jinak timbul akibat sel-sel yang ada rentan terkena mutasi sehingga berubah menjadi sel-sel tumor.

            Terdapat riwayat keluarga, Ibu dan kakak penderita meninggal dengan tumor payudara. Hal ini lebih menguatkan predisposisi herediter terjadinya carcinoma mammae, yang termasuk dalam kategori kanker familial yang terkait dengan gen BRCA1 dan BRCA2.

            Suami penderita adalah perokok berat. Senyawa polisiklik aromatic hidrokarbon yang terkandung dalam asap rokok juga merupakan salah satu karsinogen kimiawi, walaupun karsinogen ini lebih sering terkait pada kanker paru.

            Benjolan pada mammae sinistra kuadran lateral atas. Berdasarkan data statistik, carcinoma mammae lebih sering terdapat pada kuadran lateral atas.

            Gambaran
    sebagian kulit seperti kulit jeruk. Hal ini disebabkan oleh karena adanya metastasis pada saluran limfe kulit yang menyebabkan bendungan, hingga bagian tersebut akan menonjol karena bagian yang lain tertahan oleh ligament Cooper.

            Retraksi puting susu. Terjadi umumnya akibat tumor menginvasi jaringan sub-papilar. Papila akan tertarik ligamen Cooper sehingga mengalami retraksi.

            Teraba benjolan sebesar telur ayam, solid, terfiksir dan tidak berbatas jelas dengan jaringan sekitarnya. Hal ini menunjukkan ciri-ciri dari tumor ganas. Tumor ganas tidak berbatas tegas karena tidak memiliki kapsul, sehingga tidak mudah dipisahkan dengan jaringan sekitarnya, sehingga tumor terfiksir.

            Pada pemeriksaan aksila kiri teraba benjolan berdiameter 1 cm
    yang tidak nyeri. Kemungkinan besar metastasis dari tumor primer mammae adalah ke nodus limfatikus aksilaris. Menurut statistik, 70% penyebaran terjadi pada aksila, dibandingkan dengan nodus limfatikus parasternalis yang hanya mencapai 30%.

    Dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang sebelum tindakan mastektomi kiri. Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan mencakup penilaian tiga langkah, yaitu klinis, radiologis, dan sitologis, mencakup biopsi (selengkapnya dilampirkan).


     

    BAB IV

    PENUTUP


     

    A.    KESIMPULAN

    1. Neoplasma adalah pertumbuhan jaringan abnormal yang otonom dan merugikan. Dibagi menjadi neoplasma jinak dan neoplasma ganas. Neoplasma ganas umumnya disebut tumor ganas atau kanker atau carcinoma.
    2. Faktor-faktor risiko yang terdapat dalam kasus adalah suami yang perokok berat dan bahan pewarna kimia dalam industri batik yang merupakan karsinogen kimiawi. Selain itu terdapat predisposisi berupa riwayat keluarga yang juga menderita carcinoma mammae, dan penderita juga pernah menderita tumor jinak pada payudara kanannya sewaktu SMA.

    B.    SARAN

    1. Sebaiknya pasien menjalani pemeriksaan penunjang sebelum melaksanakan tindakan mastektomi.
    2. Mastektomi perlu dilakukan untuk mencegah metastasis lebih lanjut.
    3. Sebaiknya suami pasien disarankan untuk berhenti merokok.
    4. Untuk orang yang memiliki faktor risiko dan presdisposisi terhadap neoplasma tertentu diharapkan selalu menjaga kesehatan dengan melakukan gaya hidup sehat untuk mencegah munculnya neoplasma tersebut, serta sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.


       


       

      DAFTAR PUSTAKA


       

    Grace, Pierce A., Borley, Neil R. 2006. At Glace Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.


     

    Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.


     

    Haryana, Sofia M. Soesatyo, Marsetyawan. 1993. Aspek Genetik dan Imunologik

    Kanker Payudara. Diakses di ________ pada _________.


     

    Karsono, Bambang. 2007. Aspek Selular dan Molekular Kanker dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.


     

    Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Jakarta: EGC.


     

    Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC.


     

    Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC


     

    Sutandyo, Noorwati. 2007. Terapi Hormonal Pada Kanker dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.


     


     

    Tjarta, Achmad, dkk. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Bagian Patologi Anatomi FKUI.


     


     

    Lampiran 1

    Klasifikasi Histologik Tumor


     

    Jaringan Asal

    Tumor Jinak

    Tumor Ganas

    1. Simple
      1. Epitel
        1. Epitel permukaan skwamosa
        2. Epitel kelenjar
        3. Epitel villus chorialis (placenta)
      2. Mesoderm
        1. Jaringan ikat (fibroblas)
        2. Jaringan miksomatosa
        3. Jaringan lemak
        4. Tulang rawan
        5. Tulang
        6. Otot polos
        7. Otot seran lintang
        8. Pembuluh darah
        9. Pembuluh limfe
        10. Jaringan hemopoietik
          1. Sumsum tulang


             

          2. Jaringan limfoid


         


     


     

    1. Jaringan Saraf
      1. Neuroglia
    2. "Pigmented Epithelium
      1. Melanoblas


     


     

    Papiloma

    Adenoma

    Mola hydatidosa


     

    Fibroma

    Myxoma

    Lipoma

    Chondroma

    Osteoma

    Leiomyoma

    Rhabdomyoma

    Hemangioma

    Lymphangioma


     


     


     

    Tidak dikenal


     


     


     


     

    Glioma (jarang)


     

    Nevus pigmentosus


     


     

    Carcinoma

    Adenocarcinoma

    Choriocarcinoma


     

    Fibrosarcoma

    Myxosarcoma

    Liposarcoma

    Chondrosarcoma

    Osteogenic sarcoma

    Leiomyosarcoma

    Rhabdomyosarcoma

    Hemangiosarcoma

    Lymphangiosarcoma


     

    Leukemia

    Myeloma multiple

    Lymphoma malignum

    • Lymphosarcoma
    • Sarcoma sel retikulum
    • Penyakit Hodgkin


       

    Giloma


     

    Melanoma malignum

    1. Compound
      1. Jaringan Embrional
        1. Sel totipoten


     


     

    Kista dermoid (Teratoma kistik)


     


     

    Teratoma solidum

    Teratocarcinoma

    Teratosarcoma

    (Tjarta dkk, 1973)


     

    Lampiran 2


     

    Pemeriksaan Penunjang Untuk Carcinoma Mammae


     

    1. Penilaian tiga langkah: klinis/ radiologis/ sitologis
    2. Penilaian radiologis: mammografi (ultrasonografi pada wanita muda dengan payudara yang padat dan besar). Gambaran pada mamografi: irreguler, berspikula, massa radioopak dengan mikrokalsifikasi.
    3. Penilaian sitologis: FNAC atau core biopsy.
    4. Biopsi payudara: biopsi eksisi kadang dibutuhkan untuk diagnosis.
    5. Pemeriksaan penunjang stadium untuk karsinoma yang telah terbukti:
  • Semua: rontgen toraks, DPL, fosfatase alkali serum, γ-glutamil transpeptidase, kalsium serum- (menunjuk adanya metastasis ke hati atau tulang)
  • Jika secara klinis ada indikasi: scan isotop tulang (isotop bone scan), scan ultrasonografi hati, CT scan otak.

Jaringan payudara untuk mengetahui status reseptor hormon (ada tidaknya reseptor estrogen, reseptor progesteron, HER2), penting untuk terapi dan prognosis (Grace dan Borley, 2006).


 

*terimakasih kepada:
Ancilla Cherisha, Damarjati Hening P, Denny Adriansyah, Dika Ambar K, Galih Ratna A, Margareta Grace H, Maulia Prismadani, Maytia Pratiwisitha, Merida Larissa, dan Muhammad Muamar
atas bantuannya menulis tinjauan pustaka*

Respirasi: TB Paru

"Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis Paru Pada Sistem Pernapasan"


 

BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. Latar belakang

    Penyakit paru bukanlah penyakit yang baru di Indonesia. Terutama penyakit paru karena infeksi, seperti pada penyakit Tuberkulosis paru. Menurut WHO, prevelensi tuberkulosis di Indoneisa ialah 715.000 kasus per tahun dan merupakan penyebab kematian urutan ketiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. (Gunawan, 2002)

        Pada skenario kali ini ada pasien laki-laki, berusia 30 tahun dan merupakan seorang perokok. Datang dengan keluhan utama batuk darah sebanyak 250 cc sejak 1 hari yang lalu. Penderita mengeluh batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan yang diikuti demam hilang timbul dan keringat malam. Tidak mau makan 2 hari ini, dan berat badan menurun 4 kg.

        Riwayat penyakitnya, tiga tahun yang lalu penderita pernah sakit paru dnegan suara serak dan telah mendapat pengobatan paket dari Puskesmas selama 6 bulan. Saat mendapat pengobatan tersebut penderita pernah dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah dan mata kuning. Penderita mempunyai 2 anak yang masih balita dan ayah penderita meninggal dunia karena penyakit paru menular dan jantung 6 tahun yang lalu. Tekanan darahnya 100/60.

        Pada pemeriksaan didapatkan konjunctiva pucat, auskultasi suara amforik pada paru kanan dan diapatkan pembesaran kelenjar leher. Pemeriksaan darah belum ada hasil. Foto toraks tampaak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan. Gambaran sarang tawon pada apex paru kiti. Direncanakan pemeriksaan sputum, biopsi jarum halus dan bila perlu bronkoskopi di atas meja operasi. Penderita ditenangkan , diajarkan agar tidak takut untuk membatukkan. Batuk darah ditampung dan dimonitor volumenya.

  2. Rumusan masalah
    1. Bagainana patofisiologi dan patogenesis penyakit tersebut?
    2. Apa hubungannya dengan riwayat penyakit terdahulu yang pernah dideritanya?
    3. Apa yang didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan?
    4. Apa yang diderita oleh pasien tersebut?
    5. Apa diagnosis bandingnya?
    6. Bagaimana penatalaksanaannya?
  3. Tujuan penulisan
    1. Mengetahu patofisiologi dan patogenesis penyakit paru.
    2. Mengetahui hubungan riwayat penyakit terdahulu dan penyakit paru yang diderita sekarang.
    3. Dapat menguhubungkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan dengan penyakit paru yang diderita.
    4. Dapat menatalaksana penyakit paru dengan baik.
  4. Manfaat penulisan
    1. Sebagai sarana pembelajaran mengenai suatu kasus kedokteran.
    2. Sebagai sarana pembelajaran mahasiswa dalam pembuatan sebuah laporan kegiatan.
    3. Sebagai laporan atas pelaksanaan tutorial mahasiswa.


     


 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


 

  1. Hemoptosis,

    Hemoptosis (batuk darah) diklasifikasikan berdasarkan berat ringannya / jumlah darah yang dibatukkan :

    1. Bercak (streaking)

      Darah bercampur dengan sputum – hal yang sering terjadi, paling umum pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15 – 20 ml/24 jam.

    2. Hemoptisis

      Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang dibatukkan 20 – 600 ml/ 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah yang lebih besar dan biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia), TB, atau emboli paru.

    3. Hemoptosis massif

      Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 ml – biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.

    4. Pseudohemoptosis

      Batuk darah dari struktur saluran pernafasan bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan terakhir biasanya karena luka disengaja di mulut, faring, atau rongga hidung (Amin, 2007).

  2. Pemeriksaan Laboratorium

    Pemeriksaan Darah

    Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan anemia ringan normokrom normositer.

Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1 / 128. Positif palsu dan negatif palsu dari pemeriksaan ini masih besar (Amin dan Bahar, 2007).

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan tambahan obat – obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 – 30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak – anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.

Kuman baru dapat ditemukan apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang –kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1 sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum (Amin dan Bahar, 2007).

  1. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran Radiologi Tuberculosis

Foto toraks menunjukkan gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan serta gambaran sarang tawon di apeks paru kiri. Gambaran radiologis beranekaragam ini semakin menguatkan diagnosis tuberkulosis, namun untuk memastikan diagnosis melalui gambaran radiologis selain gambaran posterior anterior dan lateral seharusnya dilakukan foto toraks top lordotik, oblik, dan tomografi dengan densitas keras karena masing-masing gambaran yang beranekaragam ini menggambarkan juga proses penyakit lain seperti kavitas pada abses paru dan infiltrat pada wkanker paru (Zulkifli, 2006). Sedangkan gambaran radiologis pada pasien skenario kemungkinan dimulai dengan proses TB primer dimulai di paru kanan yang membuat banyak lesi dan kavitas sehingga memungkinkan relaps menjadi TB pascaprimer yang menyebar ke paru kiri serta akibat terbentuknya banyak kavitas menyebabkan juga bronkiektasis di apeks paru kiri karena tingginya tekanan oksigen di daerah tersebut dibandingkan daerah lain membuat kuman tumbuh dengan baik.

Pemeriksaan radiologis seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir tidak dapat membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini saja karena hampir semua manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya (Price dan Standridge, 2006).

Secara patologis, manifestasi TB paru biasanya berupa suatu kompleks kelenjar getah bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan gambaran penyakit yang menyebar yang biasanya bilateral. Ketidaknormalan apapun pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat mengindikasikan adanya penyakit TB. Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan penyakit TB dapat memiliki foto dada yang normal (CDC, 2000)

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menentukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal memberikan keuntungan seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.

Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau daerah hillus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberculosis endokondrial)

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberculoma.

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan pleura /(pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir paru/ pleura (pneumotoraks)

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.

Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran radiologis; sehingga dikatakan tuberculosis is the great imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberculoma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam mebaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnosisd radiologi sering dilakukan juga foto dengan proyeksi densitas keras.

Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oelh tuberculosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan mengalami pembedahan paru.

Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.

Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal (Amin dan Bahar, 2007).

Gambaran Radiologi Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi/ pelebaran bronkus dan bronkiolus. Timbul bila dinding bronkus melemah. Bahan-bahan purulen terkumpul pada bagian yang melebar ini mengakibatkan infeksi yang menetap. Biasanya bronkiektasis disebabkan oleh obstruksi bronkus jangka lama, penyakit fibrokistik pada pankreas; infeksi berulang dan sebagai komplikasi campak, batuk rejan, influenza; atau kelainan kongenital sindrom kartagener. Penyebab yang terakhir ini diturunkan sebagai gen resesif autosomal. Gambaran klinis uatam bronkiektasis adalah batuk kronik yang jarang, sputum mukopurulen berbau busuk, hemoptisis, pada tingkat lanjut penumonia rekuren, malnutrisi, jari tabuh (Rahmatullah, 2007).

  1. Patogenesis Tuberkulosis

    Tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Kuman berbentuk batang, tahan asam dalam pewarnaan® bakteri tahan asam (BTA). Cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup di tempat gelap dan lembab. Cara penularan, melalui droplet (percikan dahak). Kuman dapat menyebar secara langsung jaringan sekitar, pembuluh limfe, pembuluh darah. Daya penularan ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru.

    Bakteri tuberculosis berada di udara dalam bentuk droplet kemudian masuk ke saluran pernafasan atas. Basil yang tertelan atau masuk ke saluran pernafasan merupakan gumpalan basil (unit) yang terdiri dari 2-3 basil, yang lebih besar dari itu biasanya tidak bias masuk karena terlalu besar dan tertahan di bronkus/bronkiolus, saluran hidung, dan tidak menimbulkan penyakit. Setelah berhasil masuk kesaluran pernafasan bagian bawah sampai ke alveolus biasanya daerah yang disenangi oleh bakteri TB adalah di daerah-daerah yang memiliki tekanan oksigen yang tinggi yaitu di lobus tengah pada paru-paru kanan, atau pada apex paru bagian bawah sampai lobus atas bagian bawah, kemudian lobus inferior bagian atas. Basil tuberkel yang berada di alveolus akan membangkitkan reaksi radang berupa odema mukosa, pelebaran pembuluh darah, produksi cytokine, senyawa kimia yang bersifat kemotaktik bagi PMN. PMN yang datang ke alveolus kemudian berkumpul, berakumulasi dan bertambah bayak untuk memfagosit basil tersebut. Dalam tubuh PMN basil tersebut tidak mati melainkan berkembang biak didalam sel PMN. Sesudah hari pertama terjadinya infeksi leukosit yaitu PMN tadi digantikan perannya oleh makrofag. Makrofag tersebut berkumpul menjadi banyak akhirnya terjadilah konsolidasi alveolus akibat terdapatnya makrofag dan PMN yang berkumpul disertai cairan-cairan dari pembuluh darah yang vasodilatasi akibat reaksi peradangan tadi. Ketika terjadi konsolidasi inilah ditemukan adanya tanda-tanda pneumonia akut. Bakteri yang difagosit oleh makrofag yang seharusnya mati justru berkembang biak lagi di dalam makrofag. Sampai pada proses ini banyak yang menamainya proses infeksi primer Ghon. Basil yang sudah banyak ini melalui pembuluh darah yang rusak dan aliran limfatik paru menyebar ke nodus limfatikus regional. Sampai pada penyebaran ini dinamakan proses infeksi primer kompleks Ranke. Proses ini berjalan dan memakan waktu 3-8 minggu. Pada tahap ini pada sebagian orang dapat sembuh sendiri tanpa cacat. Sebagian orang meninggalkan sedikit berkas-berkas berupa garis fibrotic, kalsifikasi di hilus yang berpotensi untuk kambuh lagi karena kuman yang dormant. Dan pada sebagian orang lagi ada yang terus berlanjut menyebar secara perkontinuitatum, secara bronkogen menyebabkan paru sebelahnya ikut terinfeksi. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga sampai ke usus dan secara limfogen ke oragan tubuh lainnya, secara hematogen ke organ tubuh yang lainnya. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan menjadi TB milier karena menjalar keseluruh lapang paru.

    Basil tuberkel yang didalam makrofag berhasil mengambil alih makrofag sehingga mengatur makrofag agar dapat menyatu satu sama lainnya menjadi Tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari histiosit dan sel datia langerhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Keadaan ini biasanya memakan waktu 3-10 minggu setelah gejala pneumonia yang berupa konsolidasi. Sarang-sarang granuloma ini dapat direabsorbsi kembali tanpa cacat atau sarang-sarang tadi meluas namun sembuh dengan meninggalkan bekas sebukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras dan menimbulkan pengapuran. Selanjutnya yang paling parah adalah keadaan granuloma yang terus meluas dan menyebar sehingga jumlahnya juga banyak pada lapang paru sehingga bagian yang meluas tadi akan menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju kejadian inilah yang disebut perkejuan. Bila jaringan keju tadi copot dan dibatukkan keluar maka akan terbentuklah kavitas pada tengah-tengahnya. Mula-mula dinding kavitasi ini tipis namun semakin lama semakin tebal karena sebukan fibroblast membentuk jaringan fibrositik yang pada akhirnya menjadi kronik dinamai kavitas sklerotik. Terjadinya perkejuan tersebut dikarenakan pada jaringan nekrotik tersebut dihasilkan TNF dan sitokin yang berlebihan oleh jaringan sekitar dan oleh leukosit, selain itu juga dihasilkannya enzim-enzim hidrolisis protein, lipid dan asam nukleat yang dihasilkan makrofag yang sebetulnya ditujukan pada basil TB namun karena makrofagnya rusak maka enzim tersebut keluar ke jaringan.

    Banyak komplikasi yang terjadi akibat dari persarangan ini diantaranya adalah meluasnya lesi tersebut dan membuat sarang pneumonia baru. Bila masuk dalam arteri pulmonalis maka akan menjadi TB millier. Tertelan akan menjadi TB ekstra paru. Apabila sampai pada bronchial dan tracea makan akan menjadi TB endobronchial dan TB endotracheal dan bisa menjadi empiema bila rupture ke pleura. Sarang-sarang ini bisa memadat dan membentuk suatu pengerasan yang dinamakan tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat cair yang membentuk kavitas baru. Komplikasi kronik kavitas adalah apabila berinteraksi dan kolonisasi dengan fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma (Price dan Standridge, 2006; Amin dan Bahar, 2007).

  2. Tuberkulosis

Klasifikasi Tuberkulosis

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis:

  1. Tuberkulosis paru
  2. Bekas tuberkulosis paru
  3. Tuberkulosis paru tersangka
    1. Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negative, tetapi tanda-tanda lain positif.
    2. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Disini sputum BTA negative dan tanda-tanda lain juga meragukan.

    Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan status bakteriologi, mikroskopik sputum BTA (langsung), biakan sputum BTA, status radiologis (kelainan yang relevan untuk tuberculosis paru), status kemoterapi (riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis).

    WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:

  1. Kategori I, ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan bentuk TB berat.
  2. Kategori II, ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan BTA positif.
  3. Kategori III, ditujukan terhadap kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.
  4. Kategori IV, ditujukan terhadap TB kronik (Amin dan Bahar, 2007).

Gejala Penyakit TB paru

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

Gejala sistemik/umum

  • Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
  • Penurunan nafsu makan dan berat badan.
  • Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
  • Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

Gejala khusus

  • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
  • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
  • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
  • Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah (Anonim, 2009).

  1. Penatalaksanaan TB

Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

  • OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
  • Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
  • Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Paduan OAT dan peruntukannya.

  1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

    • Pasien baru TB paru BTA positif.

    • Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

    • Pasien TB ekstra paru

    Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 – 37 kg

2 tablet 4KDT

2 tablet 2KDT

38 – 54 kg

3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT

55 – 70 kg

4 tablet 4KDT

4 tablet 2KDT

≥ 71 kg

5 tablet 4KDT

5 tablet 2KDT


 

Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Dosis per hari / kali

Jumlah

hari/kali

menelan

obat

Tablet

Isoniasid

@ 300 mgr

Kaplet

Rifampisin

@ 450 mgr

Tablet

Pirazinamid

@ 500 mgr

Tablet

Etambutol

@ 250 mgr

Intensif

2 bulan

1

1

3

3

56

Lanjutan

4 bulan

2

1

-

-

48


 

  1. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

    • Pasien kambuh

    • Pasien gagal

    • Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

    Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

RH (150/150) + E(400)

Selama 56 hari

Selama 28 hari

selama 20 minggu

30 – 37 kg

2 tablet 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tablet 4KDT

2 tablet 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38 – 54 kg

3 tablet 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55 – 70 kg

4 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tablet 4KDT

4 tablet 2KDT

+ 4 tab Etambutol

≥ 71 kg

5 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

5 tablet 4KDT

5 tablet 2KDT

+ 5 tab Etambutol

Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Tablet

INH

@ 300 mgr

Kaplet

R

@ 450 mgr

Tablet

Z

@ 500 mgr

Etambutol

Strepto

misin

injeksi

Jumlah

hari/kali

menelan

obat

Tablet

@ 250 mgr

Tablet

@ 400

mgr

Tahap

Intensif

(dosis

harian)

2 bulan

1 bulan

1

1

1

1

3

3

3

3

-

-

0,75gr

-

56

28

Tahap

Lanjutan

(dosis 3x

semggu)

5 bulan

2

1

-

1

2

-

60

Catatan:

• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c.     OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

(Depkes RI, 2007).

Efek samping pemberian OAT

Efek Samping Ringan

Penyebab

Penanganan

Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampisin

Semua OAT diminum malam sebelum tidur

Nyeri Sendi

Pirasinamid

Beri Aspirin

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH

Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari

Warna kemerahan pada air seni (urine)

Rifampisin

Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien.


 

Efek Samping Berat

Penyebab

Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan kulit

Semua jenis OAT

Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *).

Tuli

Streptomisin

Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.

Gangguan keseimbangan

Streptomisin

Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.

Ikterus tanpa penyebab lain

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang.

Bingung dan muntah-muntah

(permulaan ikterus karena obat)

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati.

Gangguan penglihatan

Etambutol

Hentikan Etambutol.

Purpura dan renjatan (syok)

Rifampisin

Hentikan Rifampisin.

    (Anonim, 2009)


 


 

BAB III

PEMBAHASAN


 

Dalam skenario, pasien adalah seorang laki-laki berusia 30 tahun. Dengan berbagai gejala klinis dan hasil dari pemeriksaan yang didapatkan, keterangan ini merupakan salah satu fakta pendukung, karena menjadi salah satu ciri khas penyakit tuberculosis (TB), yang prevalensinya paling tinggi terjadi pada usia produktif. Pasien tersebut mengeluh batuk darah sebanyak satu gelas sejak satu hari yang lalu. Batuk darah ini merupakan ekspektorasi dari sputum ditambah dengan darah, yang terjadi akibat iritasi pada sel-sel di dinding bronkus, sehingga pembuluh darah disekitarnya ikut pecah. Penderita mengeluh batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan, diikuti demam hilang timbul dan keringat malam. Batuk dengan dahak yang sulit keluar tersebut terjadi karena adanya rangsang iritan yang mengakibatkan terjadinya batuk. Karena penderita adalah perokok, maka asap rokok yang bersifat merangsang sekresi mucin mengakibatkan meningkatnya produksi dahak (mucus). Namun sifat rokok yang juga mengakibatkan berangsur hilangnya silia menyebabkan kesulitan pengeluaran dahak. Sebenarnya pada siang hari, penderita juga berkeringat, namun keringat siang hari ini tidak terlalu terlihat, karena pada siang hari penderita beraktivitas, sehingga keringat yang terjadi pada malam hari terlihat mencolok. Selain itu, penurunan kadar kortikosteroid yang mengakibatkan turunnya aktivitas penekanan proses infeksi mengakibatkan demam disertai keluarnya keringat cenderung lebih terasa pada malam hari. Proses infeksi mengakibatkan makrofag mengeluarkan berbagai macam mediator pro inflamasi, salah satunya TNF, yang kemudian menekan nafsu makan di pusatnya, sehingga penderita tidak mau makan 2 hari ini. Akibatnya berat badan menurun 4 kg, karena walaupun asupan nutrisi berkurang, bakteri TB yang berkembang biak menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme.

Tiga tahun lalu penderita pernah sakit paru dengan suara serak dan mendapat pengobatan paket dari Puskesmas selama 6 bulan. Pengobatan yang dimaksud adalah pengobatan TB paru. Suara serak timbul akibat dahak yang tertimbun di celah di laring, terhalang oleh plica vocalis, sehingga dahak tidak dapat dikeluarkan, dan menimbulkan suara serak. Saat terapi tersebut, pernah dirawat di RS karena muntah-muntah dan mata kuning. Hal ini terjadi akibat efek samping dari obat-obat anti TB, yang pada memiliki efek hepatotoksik, sehingga salah satu contoh efek sampingnya dapat menimbulkan ikterus. Karena penderita memiliki 2 anak yang masih balita, maka anak dari penderita juga harus diberikan obat-obatan sebagai profilaksis karena anak lebih rentan terinfeksi karena system imun yang belum sempurna. Ayah penderita meninggal karena penyakit paru menular dan jantung 6 tahun yang lalu. Droplet yang menjadi sumber penularan TB paru mampu melakukan dormansi dalam waktu yang lama. Sehingga kemungkinan besar pasien tertular penyakit TB paru dari almarhum ayahnya. Tekanan darah: 100/60. Hal ini terhitung normal, apalagi untuk orang yang sedang mengalami proses infeksi. Umumnya, infeksi pada saluran respirasi menyebabkan penurunan tekanan darah.

Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva pucat, yang merupakan tanda-tanda dari anemia hemoragik, yang dapat terjadi akibat dari defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Suara amforik didapatkan karena terjadi pembentukan kavitas di paru. Pembesaran kelenjar leher terjadi karena basil telah menyebar melalui aliran limfe (secara limfogen). Gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan dan gambaran sarang tawon pada apex paru kiri menunjukkan bahwa paru kanan adalah tempat terjadinya infeksi TB paru yang pertama kali, baru kemudian infeksi mulai menyebar ke paru kiri.


 


 

BAB IV

PENUTUP


 

  1. Simpulan

Pasien ini menderita penyakit Tuberculosis paru.

  1. Saran
    1. Agar penyakit pasien tidak bertambah berat, maka pasien perlu berhenti merokok.
    2. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini,maka pasien perlu menjaga agar tidak batuk di depan anaknya, agar anaknya yang masih balita tidak terinfeksi.


 


 

DAFTAR PUSTAKA


 

Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan Pada Pasien Dengan Kelainan Sistem Pernapasan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.


 

Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.


 

Anonim. 2009. Penyakit TBC. Akses tanggal 30 Desember 2009 17:15 di http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm


 

Anonim. 2009. Obat Tuberkulosis (TBC). Akses tanggal 30 Desember 2009 17:12 di http://www.medicastore.com/apotik_online/kemoterapi_antimikroba/obat_tb.htm


 

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.


 

Price, Sylvia A. Standridge, Mary P. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.


 

Rahmatullah, Pasiyan. 2007. Bronkiektasis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.


 

*terimakasih kepada:
Ancilla Cherisha, Damarjati Hening P, Denny Adriansyah, Dika Ambar K, Galih Ratna A, Margareta Grace H, Maulia Prismadani, Maytia Pratiwisitha, Merida Larissa, dan Muhammad Muamar
atas bantuannya menulis tinjauan pustaka*