Saturday, June 11, 2011

Skor Apgar


Skor Apgar merupakan kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi baru lahir. Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian secara Apgar ini juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Cara ini dianggap paling ideal dan telah banyak digunakan dimana-mana. Patokan klinis yang dinilai ialah: (1) menghitung frekuensi jantung, (2) melihat usaha bernafas, (3) menilai tonus otot, (4) menilai refleks rangsangan, (5) memperhatikan warna kulit. Setiap kriteria diberi angka tertentu, dan biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor Apgar satu menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan mortalitas neonatal (Hassan dan Alatas, 1985).
Tabel Skor Apgar (Hassan dan Alatas, 1985)
Tanda
0
1
2
Frekuensi jantung
Tidak ada
<100/menit
>100/menit
Usaha bernafas
Tidak ada
Lambat, tidak teratur
Menangis kuat
Tonus otot
Lumpuh
Ekstremitas fleksi sedikit
Gerakan aktif
Refleks
Tidak ada
Gerakan sedikit
Menangis
Warna
Biru/pucat
Tubuh kemerahan, ekstremitas biru
Tubuh dan ekstremitas kemerahan

Pada bayi dengan asfiksia berat, untuk mempersingkat waktu, penilaian dilakukan secara cepat dengan (1) menghitung frekuensi jantung dengan cara meraba xifisternum atau a. umbilicalis dan menentukan apakah jumlahnya lebih atau kurang dari 100/menit, (2) menilai tonus otot apakah baik/buruk, (3) melihat warna kulit (Hassan dan Alatas, 1985).
Asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam (Hassan dan Alatas, 1985).:
1.       ‘Vigorous baby’. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2.       ‘Mild-moderate asphyxia’ (asfiksia sedang). Skor Apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3.       (a) Asfiksia berat. Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan  fisis ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
(b) Asfiksia berat dengan henti jantung. Henti jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.

diambil dari:
Hassan R., Alatas H. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. pp: 1076-7

Tuesday, May 10, 2011

Kedaruratan Medik: Syok Anafilaktik


KEDARURATAN MEDIK: SYOK ANAFILAKTIK

SKENARIO
Skenario I : Nyeri Tenggorokan, Pingsan?
Seorang laki-laki umur 20 th datang ke praktek dokter umum, untuk berobat radang tenggorokan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
·       5 hari sebelum periksa penderita merasakan nyeri tenggorokan. Penderita minum obat antiflu tablet dan tablet hisap beli dari apotik tanpa resep, nyeri tenggorokannya tidak berkurang.
·       Kemudian datang ke praktek dokter umum, didiagnosa radang tenggorokan akut, mendapat terapi  antibiotik injeksi, golongan penicillin yang dilakukan oleh perawat atas perintah dokter yang memeriksa.
·       10 menit kemudian penderita mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat dingin, kemudian jatuh pingsan.
Hasil pemeriksaan sementara:
·       Kesadaran sopor
·       Nafas sesak, RR: 32 - 36x/ menit, cepat dan dangkal, suara nafas ngorok
·       Tekanan darah 60 mmHg palpasi
·       Nadi 140x/menit, kecil, keringat dingin.
Resusitasi Gawat Daruratnya:
·       Penderita segera ditelentangkan, posisi syok, jalan nafas dibebaskan dengan chin lift, nafas masih spontan. Diberikan injeksi adrenalin 0,3 mg/subcutan, sambil di observasi bagaimana respon hemodinamiknya. Setelah 5 menit diberikan injeksi adrenalin k2-2 dengan dosis 0,5 mg/intramuskuler.
·       Penderita tampak diam, tidak ada reaksi dengan tepukan maupun rangsang nyeri. Dokter menentukan penderita mengalami henti nafas dan henti jantung, siap dilakukan Resusitasi jantung paru otak. Sambil menghubungi UGD terdekat.

TINJAUAN PUSTAKA
A.   SYOK
Definisi
                Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel (Purwadianto dan Sampurna, 2000).
Klasifikasi
Secara klinis, syok dibagi atas dua golongan besar (Purwadianto dan Sampurna, 2000):
1.    Syok Hipovolemik, yaitu syok dengan volume plasma berkurang.
a.    Kehilangan plasama keluar tubuh, yaitu perdarahan gastroenteritis, renal (diabetes melitus,  diabetes insipidus), kulit (luka bakar, keringat berlebihan).
b.    Kehilangan cairan didalam ruang tubuh, yaitu patah tulang panggul atau iga, asites, ileus obstruktif, hemotoraaks, hemoperitoneum.
2.    Syok Normovolemik, yaitu syok dengan volume plasma normal.
a.    Kardiogenik (koroner/non koroner), yaitu infark jantung, payah jantung, aritmi.
b.    Obstruksi aliran darah, yaitu emboli paru, tension pneumothorax, tamponade jantung, aneurisma aorta dissecans, intrakardiak (milksoma ball-valve thrombus).
c.     Neurogenik, yaitu trauma/nyeri hebat (dislokasi sendi panggul, diatasi serviks uteri yang terlampau cepat, tarikan pada funikulus spermatikus, kandung empedu atau kardia lambung), obat-obatan (anestetik, barbiturat, fenotiazin), hipotensi ortostatik, lesi sumsum tulang.
d.    Lain-lain, seperti infeksi/sepsis (syok septik), anafilaktik, kegagalan endokrin (miksedema, Addison), anoksi.
Gejala dan Tanda
          Secara umum didapatkan gambaran kegagalan perfusi jaringan yang terjadi melalui
salah satu mekanisme dibawah ini
(Purwadianto dan Sampurna, 2000):
1.       Berkurangnya volume sirkulasi (syok hipovolemik).
2.       Kegagalan daya pompa jantung (syok kardiogenik).
3.       Perubahan resistensi pembuluh darah perifer - penurunan tonus vasomotor (syok anafilaktik, neurogenik dan kegagalan endokrin) atau peninggalan resistensi (syok septik, obstruksi aliran darah).
          Gejala yang tampak pada keadaan syok pada berbagai sistem organ (Purwadianto dan Sampurna, 2000):
1.       Sistem jantung dan pembuluh darah:
-       Hipotensi, sitolik < 90 mm Hg atau turun ≥ 30 mHg dari semula.
-       Takikardi, denyut nadi > 100/menit, kecil, lemah/tak teraba.
-       Penurunan aliran darah koroner
-       Penurunan aliran darah kulit, sianotik, dingin dan basah; pengisian kapiler yang lambat.
2.       Sistem saluran napas:
Hiperventilasi akibat anoksi jaringan, penurunan venous serta peninggian physiological dead space dalam paru.
3.       Sistem saraf pusat:
Akibat hipoksi terjadi peninggian permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema serebri dengan gejala penurunan kesadaran.
4.       Sistem saluran kemih:
Oliguri (diuresis <30 ml/jam), dapat berlanjut mejadi anuri, uremi akibat payah ginjal akut.
5.       Perubahan biokimiawi; terutama pada syok yang lama dan berat.
-          Asidosis metabolik akibat anoksi jaringan dan gangguan fungsi ginjal.
-          Hiponatremi dan hiperkalemi .
-          Hiperglikemi.
          Menurut beratnya gejala, dapat dibedakan empat stadium syok; pembagian ini terutama berlaku untuk syok hipovelemik dan berhubungan dengan jumlah plasma yang hilang (Purwadianto dan Sampurna, 2000):
Stadium
Plasma yang hilang
Gejala
1.    Presyok
(compensated)
10-15%
± 750 ml
Pusing, takikardi ringan, sistolik 90-100 mmHg
2.    Ringan
(compensated)
20-25%
1000-1200 ml
Gelisah, keringat dingin, haus, dieresis berkurang, takikardi >100/menit, sistolik 80-90 mmHg
3.    Sedang  (reversibel)
30-35%
1500-1750 ml
Gelisah, pucat, dingin, oliguri, takikardi >100/menit, sistolik 70-80 mmHg
4.    Berat (ireversibel)
35-50%
1750-2250 ml
Pucat, sianotik, dingin, takipnea, anuri, kolaps pembuluh darah, takikardi/tak teraba lagi, sistolik 0-40 mmHg

B.    SYOK ANAFILAKTIK
          Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi obat, yang dapat berupa reaksi anafilaktik dan reaksi anafilaktoid. Reaksi anafilaktik adalah gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi. Sedangkan reaksi anafilaktoid tidak melalui reaksi imunologik, namun karena gejala dan pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka reaksi anafilaktoid juga disebut sebagai anafilaksis (Rengganis et al., 2007).
          Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Anafilaksis yang berat dapat pula terjadi tanpa hipotensi, dimana obstruksi saluran napas menjadi gejala utamanya. Kematian karena anafilaksis sebesar dua pertiganya disebabkan oleh obstruksi saluran napas (terutama pada usia muda) dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular (terutama usia lanjut) (Rengganis et al., 2007).
          Ciri khas anafilaksis yang pertama adalah gejala yang timbul beberapa detik hingga beberapa menit setelah terpajan alergen atau faktor pencetus non alergen seperti zat kimia, obat, atau kegiatan jasmani. Ciri kedua, anafilaksis merupakan reaksi sistemik sehingga melibatkan multiorgan yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak (Rengganis et al., 2007).
          Syok anafilaktik biasanya terjadi setelah penyuntikan serum atau obat terhadap penderita yang sensitif; selain tanda-tanda syok terdapat juga spasme bronkioli yang menyebabkan asfiksi dan sianosis. Juga sering didahului dengan rasa nyeri kepala, gangguan penglihatan, urtikaria dan edema wajah, dan mual-mual (Purwadianto dan Sampurna, 2000).
Mekanisme dan Penyebab Anafilaksis Karena Obat
          Melalui mekanisme IgE dan non IgE, serta berbagai penyebab selain obat, seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara panas, air dingin, bahkan sebagian tidak diketahui. Mekanisme dan obat pencetus anafilaksis (Rengganis et al., 2007):
1.       Anafilaktik (melalui IgE)
-          Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
-          Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
-          Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
-          Enzim (kemopapain, tripsin)
-          Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
-          Protein manusia (insulin, vasopressin, serum)
2.       Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
-          Zat penglepas histamine secara langsung
a.    Obat (opiat, vankomisin, kurare)
b.    Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
c.     Obat lain (dekstran, fluoresens)
-          Aktivasi komplemen
a.       Protein manusia (immunoglobulin dan produk darah lainnya)
b.      Bahan dialisis
-          Modulasi metabolisme asam arachidonat
a.       Asan asetilsalisilat
b.      Antiinflamasi nonsteroid
Manifestasi Klinis Alergi Obat
          Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV) (Djauzi et al., 2007):
1.       Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)
                  Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk, yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya permeabilitas kapiler, serta hipersekresi kelenjar mukus. 1) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang disertai juga kejang laring. Bila disertai edema laring menjadi keadaan gawat karena pasien tidak dapat atau sulit bernapas, 2) Urtikaria, 3) Angiodema, 4) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin (Djauzi et al., 2007).
                  Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Reaksi mengenai beberapa organ dan bersifat membahayakan, dengan penyebab yang tersering adalah penisilin (Djauzi et al., 2007).
                  Pada tipe I ini terjadi beberapa fase, yaitu: a) Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE. b) Fase aktivasi, yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi. c) Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat penglepasan mediator (Djauzi et al., 2007).
2.       Tipe II
                  Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi akibat pembentukan IgM/IgG oleh pajanan antigen, yang kemudian dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktivasi komplemen melalui reseptor komplemen (Djauzi et al., 2007).
                  Manifestasi klinis reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini (Djauzi et al., 2007).
3.       Tipe III
                  Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bilaa kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan adalah IgM dan IgG. Kompleks ini mengaktifkan pertahanan tubuh dengan penglepasan komplemen (Djauzi et al., 2007).
                  Manifestasi klinis reaksi tipe III dapat berupa: 1) Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai dengan pruritus. 2) Demam, 3) Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi, 4) Limfadenopati, 5) Lain-lain (Djauzi et al., 2007):
-          Kejang perut, mual
-          Neuritis optik
-          Glomerulonefritis
-          Sindrom lupus eritematosus sistemik
-          Gejala vaskulitis lain
                  Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam 1-5 hari (Djauzi et al., 2007).
4.       Tipe IV
                  Reaksi tipe IV atau disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi, yang berperan adalah respon sel T yang telah disensitisasi oleh antigen tertentu (Djauzi et al., 2007).
                  Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): 1) Cutaneous Basophil Hypersensitivity, 2) Hipersensitivitas kontak, 3) Reaksi tuberculin, 4) Reaksi granuloma (Djauzi et al., 2007).
                  Manifestasi klinis reaksi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrate paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomyelitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal. Bila pasien telah sensitif, gejala dapat timbul 18-24 jam setelah obat dioleskan (Djauzi et al., 2007).
Diagnosis
          Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang timbul, dapat ringan seperti pruritus, urtikaria, sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Terkadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Rengganis et al., 2007).
          Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis et al., 2007):
Sistem
Gejala dan Tanda
Umum
Prodromal
Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.
Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.
Edema
Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskuler
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
Gastrointestinal
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.
Kulit
Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.
Mata
Gatal, lakrimasi
Susunan saraf pusat
Gelisah, kejang

Penatalaksanaan
-          Hentikan kontak dengan alergen.
-          Perhatikan tanda vital dan jalan napas; bila perlu dilakukan resusitasi dan pemberian oksigen.
-          Epinefrin 1/1000, 0,5-1 ml subkutan/intramuscular, daapat diulang 5-10 menit kemudian.
-          Dapat diberikan pula antihistamin berupa difenhidramin 10-20 mg intravena, kortikosteroid berupa hidrokortison  100-250 mg intravena lambat (dalam 30 detik), dan aminofilin 250-500 mg intravena lambat, bila spasme bronkioli nyata (Purwadianto dan Sampurna, 2000).

C.    PENISILIN
          Penisilin merupakan antibiotik golongan betalaktam, dengan mekanisme menghambat sintesis mukopeptida yang diperlukan untuk pembentukan dinding sel bakteri. Beberapa penisilin akan berkurang aktivitas antimikrobanya dalam suasana asam sehingga penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral (Istiantoro dan Gan, 2007).
Efek Samping
          Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping tersering yang dijumpai pada golongan penisilin G khususnya merupakan salah satu obat yang tersering menimbulkan reaksi alergi. Terjadinya reaksi alergi didahului oleh adanya sensitisasi. Namun mereka yang belum pernah diobati dengan penisilin dapat juga mengalami reaksi alergi. Dalam hal ini diduga sensitisasi terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh penisilin (misalnya makanan asal hewan atau jamur) (Istiantoro dan Gan, 2007).
D.   xx

DAFTAR PUSTAKA
Djauzi S., Sundaru H., Mahdi D., Sukmana N. 2007. Alergi Obat. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 251-4
Istiantoro Y.H. dan Gan V.H.S. 2007. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. Dalam Gunawan S.G. Farmakologi dan Terapi Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp: 664; 670-1
Purwadianto A., Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina Aksara. Pp: 47-9; 56-7
Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 190-2