Thursday, January 21, 2010

Field Lab: TB Paru

Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis

di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia dan merupakan penyebab utama kematian (Subagyo et.al, 2006). Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2007).

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per

100.000 penduduk (Depkes RI, 2007).

Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain program DOTS dimana Indonesia hampir mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85% diantaranya berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB di Indonesia, juga akan dilakukan program DOTS plus untuk menangani MDR TB (Aditama, 2006).

Tuberculosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya di Indonesia masih terbilang tinggi. Sebagai dokter, nantinya yang bertugas di Indonesia, mahasiswa harus memiliki kompetensi yang cukup tinggi apabila nantinya menemukan dan menghadapi sendiri adanya kasus Tuberculosis.

Pembelajaran Field Lab merupakan salah satu cara membekali mahasiswa agar siap berorientasi penuh pada masyarakat. Mahasiswa memperoleh berbagai tambahan ilmu dan pengalaman yang berharga dengan observasi langsung di lapangan, yang selanjutnya dapat diterapkan setelah lulus nanti.

B. Tujuan Pembelajaran

Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiwa mampu:

1. Mendemonstrasikan algoritma penemuan suspek dan kasus TB dengan strategi DOTS

2. Mendemonstrasikan alur pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS

3. Melakukan perhitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB

4. Mendemonstrasikan cara pemantauan dan evaluasi pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS

5. Mendemonstrasikan cara diagnosis dan pengobatan profilaksis TB anak.


BAB II

KEGIATAN YANG DILAKUKAN


  1. Kegiatan Pra-Lapangan

    Sebelum mengikuti kegiatan lapangan di Puskesmas Sidoharjo, mahasiswa mengikuti kegiatan pre-test tertulis yang dilaksanakan di FK UNS. Soal yang dikerjakan bersumber dari buku manual Field Lab yang telah diberikan sebelumnya. Pre-test tersebut dilaksanakan untuk menguji seberapa jauh materi yang telah dipahami oleh mahasiswa. Mahasiswa juga membuat Buku Rencana Kerja (BRK) yang berisi tentang tujuan dan prosedur kegiatan.

  2. Kegiatan Lapangan Hari Pertama (10 Desember 2009)

    Pada pertemuan pertama tanggal 10 Desember 2009, mahasiswa tiba di Puskesmas Sidoharjo pada pukul 07.00 WIB. Sebelum mahasiswa melaksanakan kegiatan, mahasiswa turut menghadiri apel pagi dilanjutkan dengan senam ringan yang dilaksanakan rutin di Puskesmas Sidoharjo setiap pagi, bersama dengan seluruh staf Puskesmas Sidoharjo.

    Setelah selesai mengikuti apel pagi bersama dengan seluruh staf Puskesmas Sidoharjo, mahasiswa kemudian diberi pengarahan oleh Kepala Puskesmas Sidoharjo, drg. Dwi Hatwi, dr. Rusnita dan Bapak Semu. drg. Dwi Hatwi memberikan pembukaan dan pengarahan awal, kemudian dr. Rusnita memberikan gambaran umum tentang TB, dilanjutkan dengan penjelasan Bapak Semu tentang prosedur teknis pelaksanaan pemberantasan TB di Kecamatan Sidoharjo.

    Pada prinsipnya, penjelasan yang diberikan oleh dr. Rusnita dan Bapak Semu merupakan penjabaran dan aplikasi dari buku manual Field Lab yang telah diberikan kepada mahasiswa. Akan tetapi, tidak semua teori pelaksanaan pengendalian TB dalam buku manual dapat dilaksanakan dengan sempurna, sehingga ada sedikit penyesuaian dalam penerapan di lapangan, khususnya di Puskesmas Sidoharjo. Kemudian penjelasan dan aplikasi lapangan yang dijelaskan oleh dr. Rusnita dan Bapak Semu selanjutkan akan penulis lebih jabarkan pada bab pembahasan.

    Selanjutnya, setelah mendapatkan penjelasan awal dari dr. Rusnita dan Bapak Semu, mahasiswa melaksanakann kunjungan ke ruang laboratorium di Puskesmas Sidoharjo dan diberi penjelasan oleh Ibu Farida yang merupakan laboran Puskesmas Sidoharjo seputar pemeriksaan sputum dan aplikasinya di lapangan.

    Setelah berkunjung ke laboratorium, mahasiswa kemudian mengunjungi Klinik Khusus, yang di Puskesmas Sidoharjo berfungsi untuk melayani pasien khusus misalnya pasien lanjut usia, pasien kusta, dan pasien TB. Di ruangan Klinik Khusus sudah tersimpan obat dari masing-masing pasien TB yang berada dalam daerah cakupan Puskesmas Sidoharjo yang akan diberikan kepada pasien secara berkala untuk sekaligus memantau perkembangan penyakitnya.



BAB III

HASIL


Data penduduk yang terdapat di wilayah cakupan Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen mempunyai rincian sebagai berikut:

No

Desa

KK

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1.

Sidoharjo

1.318

1.880

1.917

3.797

2.

Jetak

1.936

2.967

3.073

6.040

3.

Duyungan

1.833

2.578

2.692

5.270

4.

Purwosuman

1.921

2.862

3.101

5.963

5.

Bentak

993

1.611

1.670

3.281

6.

Patihan

2.008

3.197

3.223

6.420

7.

Tenggak

1.509

1.676

1.690

3.366

8.

Taraman

1.671

2.300

2.324

4.624

9.

Singopadu

1.149

1.745

1.791

3.536

10.

Jambanan

1.286

1.930

1.984

3.914

11.

Pandak

951

1.201

1.202

2.460

12.

Sribit

930

1.212

1.202

2.414

Jumlah

17.055

25.159

25.926

51.085


Sesuai dengan prosedur penghitungan yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan, Puskesmas Sidoharjo menentukan berbagai penghitungan perkiraan kasus dan target pasien TB. Dari perkiraan yang didapatkan, minimal 70% dari angka tersebut harus ditemukan.

Mahasiswa mendapatkan penjelasan dari Bapak Semu tentang prosedur penghitungan penting tentang TB yang dilaksanakan di Puskesmas Sidoharjo, yang mencakup:

  1. Penentuan Perkiraan Jumlah Pasien BTA positif yang ada di Puskesmas Sidoharjo


Jumlah penduduk dalam lingkup kerja Puskesmas Sidoharjo adalah 51.085 orang.


Sehingga target jumlah pasien BTA positif yang harus ditemukan oleh Puskesmas adalah minimal 70% dari jumlah perkiraan pasien BTA positif:


  1. Cara penjaringan suspek TB

    Untuk setiap 1 orang pasien TB BTA positif diperkirakan ada 10 suspek TB yang harus dilakukan pemeriksaan.

    55 x 10 = 550 suspek

    Target suspek 70%, sehingga

    39 x 10 = 390 suspek

  2. Case Notification Rate (CNR)

    Adalah persentase dari jumlah pasien TB BTA positif dari seluruh penduduk dalam cakupan Puskesmas.


  3. Case Detection Rate (CDR)

    Adalah persentase dari jumlah pasien TB BTA positif dari target perkiraan jumlah penduduk yang menderita TB BTA positif.


    CDR dari 70% target perkiraan jumlah penduduk yang menderita TB BTA positif yang ditemukan:




BAB IV

PEMBAHASAN


Penyakit TB telah menjadi iceberg phenomenon, yang terlihat cukup baik dari permukaan, namun masih menyimpan permasalahan besar yang belum ditemukan sehingga perlu penanganan yang lebih intensif. Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen mempunyai target minimal menemukan 10% hasil positif TB dari jumlah masyarakat dalam wilayah cakupan Puskesmas, sehingga apabila tidak ditemukan adanya kasus baru dalam pemeriksaan di Puskesmas, pihak Puskesmas bergerak lebih aktif mencari ke masyarakat dengan cara mengadakan penyuluhan, dan pemantauan dari rumah ke rumah. Untuk satu penderita TB BTA positif, diperkirakan ada sepuluh suspek.

Penjaringan TB paru di Puskesmas Sidoharjo terdapat dalam dua cara: 1) melalui pemeriksaan di Puskesmas sendiri; dan 2) melalui rujukan dari RS atau BKPM (Balai Kesehatan Paru Masyarakat) dari kota atau kabupaten, yang nantinya akan dirujuk ke Puskesmas sesuai dengan kecamatan dimana penderita tinggal. Sedangkan melalui lintas program, penjaringan Puskesmas Sidoharjo dibagi menjadi dua cara, yaitu 1) aktif, yaitu petugas Puskesmas yang datang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, dan 2) pasif, yaitu penderita yang datang ke Puskesmas untuk memeriksakan diri.

Alur diagnosis TB paru di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen secara garis besar sama seperti alur dalam buku manual Field Lab, namun untuk diagnosis TB anak, Puskesmas Sidoharjo tidak dapat menentukan diagnosis dengan prosedur scoring dengan tepat, sehingga disarankan agar suspek TB anak dirujuk ke Rumah Sakit. Selanjutnya apabila pasien atau keluarga pasien menginginkan pelaksanaan terapi di Puskesmas, keluarga pasien dapat meminta surat pengantar untuk pelaksanaan terapi di Puskesmas. Selanjutnya, Puskesmas Sidoharjo dapat melaksanakan dan memantau terapi TB anak hingga selesai. Begitu juga dengan pasien TB ekstra paru, Puskesmas Sidoharjo dapat melaksanakan terapi, tetapi diagnosisnya hanya menerima surat pengantar terapi yang diagnosisnya telah ditetapkan di unit pelayanan yang lebih professional, seperti Rumah Sakit atau dokter spesialis.

Pasien yang datang pertama kali dari Poliklinik Umum, kemudian apabila setelah dilakukan pemeriksaan sputum menghasilkan hasil yang TB BTA positif, maka kemudian perawatan pasien tersebut selanjutnya dipindahkan ke Klinik Khusus agar memudahkan pemantauan yang dilaksanakan oleh pihak Puskesmas. Adanya Klinik Khusus ini bertujuan untuk memantau pasien lebih intensif tanpa membuat pasien merasa terkucilkan, dan tetap merasa nyaman dengan terapi yang sedang dijalani.

Pada umumnya, jika gejala yang timbul sudah cukup banyak dan sangat menyerupai gejala TB, maka pemeriksaan sputum menunjukkan hasil yang positif. Pemeriksaan sputum merupakan gold standar dari diagnosis TB, sehingga diagnosis TB harus berdasarkan hasil pemeriksaan sputum yang BTA positif, namun apabila gejala sudah sangat mendekati, dan hasil rontgen menunjukkan hasil positif TB, maka hasil pemeriksaan sputum yang negatif juga dapat mengarah pada kesimpulan positif TB. Puskesmas Sidoharjo mempunyai fasilitas laboratorium yang sudah dapat melaksanakan pemeriksaan sputum untuk TB, namun untuk fasilitas rontgen dan uji tuberculin, Puskesmas Sidoharjo belum mempunyai fasilitas tersebut, sehingga untuk pemeriksaan rontgen dan uji tuberculin, Puskesmas Sidoharjo merujuk pasien ke Rumah Sakit (RS).

Pemeriksaan sputum dilaksanakan empat kali, yaitu pada pemeriksaan awal (waktu penyaringan), seminggu sebelum akhir terapi intensif (akhir bulan kedua), seminggu sebelum akhir bulan kelima, dan seminggu sebelum akhir bulan keenam (akhir terapi lanjutan).

Pada pemeriksaan sputum, yang menggunakan prinsip sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), pada waktu pertama kali pasien datang, setelah melakukan pengeluaran dahak sewaktu, kemudian pada waktu pasien pulang pasien diberikan dua pot (tempat) sputum untuk digunakan menampung dahak yang akan diserahkan pada kunjungan selanjutnya.

Ada kriteria penentuan positif-negatif dari pemeriksaan sputum, yang ditentukan oleh IUALC. Apabila dari pemeriksaan SPS pertama kali, hasil yang positif hanya satu spesimen, sebaiknya pemeriksaan diulang. Pada umumnya, specimen yang menghasilkan hasil yang hampir selalu positif adalah sputum yang diambil waktu pagi hari (P).


Pemberian obat untuk terapi TB pada pasien di Puskesmas Sidoharjo seperti pada umumnya terapi medikamentosa, disertai dengan edukasi tentang waktu minum obat dan cara mengatasi gangguan atau keluhan yang muncul akibat efek samping obat. Misalnya, jika pekerjaan pasien dilakukan pada siang hari, maka waktu minum obat dilaksanakan pada malam hari. Kemudian jika timbul efek samping seperti mual dan muntah maka sebaiknya diberikan terapi simtomatik untuk menghentikan gangguan tersebut, kemudian setelah gangguan hilang, terapi tetap dapat dilanjutkan. Untuk mengawasi kepatuhan pasien dalam meminum obat, pasien tidak diberikan satu paket penuh Obat Anti Tuberculosis (OAT) yang digunakan untuk enam bulan kedepan, tetapi paket tersebut disimpan oleh Puskesmas. Pasien kemudian secara teratur datang ke Puskesmas setiap sepuluh hari sekali untuk mengambil OAT sekaligus melakukan pemeriksaan kontrol.

Apabila ditemui kejadian pasien kambuh, apabila setelah sembuh pasien kembali menderita TB dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, maka pasien diberikan terapi OAT kategori 2. Akan tetapi apabila kurun waktu kambuhnya lebih dari 5 tahun, maka pasien masih dapat diberikan terapi OAT kategori 1. Namun, Puskesmas Sidoharjo selama ini hanya menemukan pasien dengan kriteria yang cocok untuk diberikan terapi OAT kategori 1. Belum ada pasien yang terindikasi harus diberikan OAT kategori 2.



BAB V

PENUTUP


A. Kesimpulan

Pelaksanaan kegiatan Field Lab dengan topik Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis di Puskesmas Sidoharjo Sragen sudah berlangsung cukup baik dan edukatif. Mahasiswa dapat mencapai seluruh kompetensi dalam tujuan pembelajaran. Permasalahan di lapangan serta pemecahannya yang belum pernah didapatkan secara formal dalam pembelajaran dalam kegiatan perkuliahan, merupakan pengalaman yang penting untuk bekal pengabdian mahasiswa kelak sebagai dokter.

B. Saran

Sebaiknya kegiatan Field Lab topik Pengendalian Penyakit Menular TB di Puskesmas Sidoharjo juga dilengkapi dengan kegiatan kunjungan ke rumah penderita TB yang telah tersaring di Puskesmas, untuk menjaring suspek TB di lingkungan sekitar rumah pasien TB.

Kegiatan Field Lab ini juga mungkin akan lebih baik lagi jika dilaksanakan dalam waktu lebih dari 2 pertemuan, karena waktu yang sempit mengakibatkan mahasiswa tidak dapat melaksanakan kegiatan Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis dengan sempurna.




DAFTAR PUSTAKA


Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman dalam Jurnal Tuberculosis Indonesia vol. 3 nomor 2. Diakses di http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf pada 11 Desember 2009, 21:22.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.

Tim Field Lab FK UNS dan UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2009. Manual Field Lab, Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis. Surakarta: Field Lab FK UNS.




Lampiran 1

Form. TB-05

2 comments:

  1. wah, aku kmr field labnya jg ke sidoharjo lohhH...
    yg kepalanya dr.dwi itu kan???baeg y dokternya...hhahaha

    bdw, thaxz 4 d site n posting....lil bit help me..hehe

    ReplyDelete
  2. @fika:
    masa sih? (kami sekelompok kok agak paranoid ya sama kapuskesnya?)tp nilainya akhirnya bagus2 juga sih. :D kmrn diajak senam juga? hehhe
    iya, sm2. (walaupun ga mutu, tapi lumayanlah tinjauan pustakanya kan bisa dipake, :D

    ReplyDelete