Monday, July 6, 2009

Biomol: Down Syndrome

Faktor Hereditas dan Kaitannya Dengan Aspek Biologi Molekuler Pada Kasus Down Syndrome


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Down syndrome adalah kelainan kromosom akibat terdapatnya kromosom tambahan pada kromosom nomor 21. (Wikipedia, 2008). Kelainan ini pertama diketahui oleh Seguin tahun 1844, tetapi tanda klinisnya ditemukan oleh J. Langdon Down tahun 1866. Setelah dibuat kariotipe dari penderita, terdapat kelebihan sebuah autosom nomor 21. (Suryo, 2005).

Penderita Down syndrome biasanya dapat dengan mudah dikenali dari penampakan fisiknya yang khas. Ciri-ciri tersebut diantaranya tubuh pendek dan puntung, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak lebar antar kedua mata, kelopak mata mempunyai lipatan epikantus, dan iris mata kadang-kadang berbintik (brushfield). (Suryo, 2005).

Berikut ini permasalahan dalam skenario 2 :

Seorang ibu 37 tahun konsultasi dengan bidan desa, anaknya perempuan berusia 12 bulan dan berat badan 7,5 kg. Perkembangan anak seperti duduk dan tengkurap terlambat. Hasil pemeriksaan bidan menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami keterlambatan perkembangan psikomotor. Setelah dirujuk ke dokter spesialis, hasil pemeriksaan fisik oleh dokter spesialis anak menunjukkan adanya berbagai ciri fisik penderita Down syndrome. Hasil pemeriksaan kariotipe menunjukkan adanya trisomi 21.

Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis kelainan Down syndrome terutama dari segi molekuler-genetika, mencari hubungan faktor hereditas dengan Down syndrome, dan terapi Down syndrome.

B. RUMUSAN MASALAH

· Bagaimana patogenesis dan patofisiologi molekuler Down syndrome?

· Apakah Down syndrome terkait faktor herediter?

· Apa dasar terapi bagi penderita Down syndrome?

C. TUJUAN PENULISAN

· Mengetahui patogenesis dan patofosiologi molekuler Down syndrome.

· Mengetahui kaitan Down syndrome dengan faktor herediter.

· Mengetahui dasar terapi bagi penderita Down syndrome.

D. MANFAAT PENULISAN

§ Mahasiswa mempelajari kaitan aspek biologi molekuler dalam kelainan genetik Down syndrome.

§ Mahasiswa belajar mencari dasar dan kaitan faktor hereditas dengan kelainan genetik Down syndrome.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penyebab Down syndrome adalah trisomi 21 utuh, dengan prosentase 94% dari seluruh kejadian Down syndrome. Mosaik hanya mencapai angka 2,4%, sedangkan angka kejadian translokasi 3,3% dari keseluruhan kejadian Down syndrome. 75% translokasi adalah de novo, sisanya translokasi keturunan. (Chen, 2007).

Pada Down syndrome trisomi 21 (utuh), dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Non-disjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu 1) adanya virus atau kerusakan akibat radiasi; 2) adanya pengandungan antibodi tiroid yang tinggi; 3) sel telur mengalami kemunduran apabila setelah berada dalam tuba fallopii tidak dibuahi. Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21). (Suryo, 2005).

Jika pada trisomi 21 utuh karena non-disjunction mempengaruhi seluruh sel tubuh, pada kasus Down syndrome mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal dan yang lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua cara: non-disjunction pada perkembangan sel awal pada embryo yang normal menyebabkan pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo dengan Down syndrome mengalami non-disjunction dan beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom normal. (Wikipedia, 2008).

Penderita Down syndrome translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom translokasi 14q21q. Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun kariotipenya 45,XX,t(14q21q). Perkawinan laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier Down syndrome secara teoritis menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome. (Suryo, 2005). Pada Down syndrome translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan kromosom normal. Umumnya kromosom golongan D (13-15) hilang, tetapi muncul kromosom tambahan pada golongan C (6-12), dan pada ibunya satu kromosom 21 juga hilang. (Emery, 1992).

Daerah 5 Mb diantara loci D21S58 dan D21S42 telah teridentifikasi mempunyai kaitan dengan retardasi mental dan sejumlah penampakan fisik penderita Down syndrome, yang lebih khusus, subregion yang didalamnya terdapat D21s55 dan MX1 (interferon-protein p58)─terletak di pita 21q22.3. Analisis lanjutan menunjukkan pada daerah 1.6-Mb diantara LA68 dan ERG di 21q22 sebagai Down Syndrome Critical Region (DSCR), terdiri dari DSCR 1,2,3, dan 4. DSCR1 terekspresikan dengan jelas pada otak dan jantung, dan diduga kuat terlibat dengan patogenesis Down syndrome khususnya dalam retardasi mental atau gangguan jantung. DSCR4 terekpresikan cukup jelas pada plasenta. Gen yang diatur oleh REST transcription factor (TF) dipilih secara selektif. Salah satu gen diantaranya, SCG10, yang mengkode protein spesifik untuk perkembangan neuron hampir tidak dapat dikenali. Sel Down syndrome menunjukkan penurunan aktifitas neurogenesis, dan pemendekan neurit serta perubahan abnormal pada morfologi neuron. Gen yang diatur oleh REST mempunyai peran penting dalam perkembangan otak, kelenturan, dan formasi sinaps. (McKusick, 2008).

Tidak ada terapi medis yang tersedia bagi retardasi mental pada penderita Down syndrome, namun terdapat beberapa alternatif terapi lainnya yang meningkatkan harapan hidup bagi penderita Down syndrome, yang pada umumnya disertai beberapa penurunan fungsi organ atau fungsi tubuh. Hal yang dapat dilakukan pada penderita Down syndrome hanya berupa terapi penunjang, antara lain seperti konseling genetik, vaksinasi dan perawatan kesehatan, perawatan medis dan monitoring untuk pasien Down syndrome dewasa, terapi bedah bagi penyakit yang berkaitan, konsultasi (fisik, occupational therapy, terapi bicara). (Chen, 2007).

BAB III

PEMBAHASAN

DSCR (Down Syndrome Critical Region) merupakan daerah pada kromosom yang mempengaruhi fenotip dari penderita Down syndrome. Fenotip yang muncul berbeda-beda tergantung dari jenis Down syndrome itu sendiri. Pada kasus Down syndrome mosaik, misalnya, tidak keseluruhan fenotip Down syndrome muncul, seperti pada kasus trisomi 21 utuh.

Pada meiosis I, oosit primer yang diploid (2n) berusaha membelah menjadi oosit sekunder yang haploid (n). Seluruh kromosom membelah, namun terdapat satu autosom yang tidak membelah, yaitu autosom no. 21. Karena itu, dalam oosit sekunder yang kemudian akan membelah lagi menjadi ovum terdapat 2 autosom nomor 21, sehingga totalnya menjadi 24 kromosom (23 autosom, dan 1 gonosom─kromosom X). Sperma yang normal bersifat haploid (n), berjumlah 23 kromosom, (22 autosom dan 1 gonosom─kromosom Y). Sehingga individu dengan Down syndrome mempunyai total 47 kromosom termasuk 21 pasang autosom normal, sepasang gonosom normal, dan 3 kromosom pada autosom nomor 21. Pada Down syndrome trisomi 21, kebanyakan literatur menyebutkan tidak terjadi penurunan penyakit secara genetik dari orang tua kepada anak, karena umumnya fertilitas individu dengan Down syndrome rendah. Hanya 15-30% dari keseluruhan wanita penderita Down syndrome yang fertil. Namun beberapa literatur menyebutkan bahwa wanita dengan Down syndrome trisomi 21 berisiko menurunkan kelainan tersebut sebesar 50% kepada keturunannya. Berdasarkan hukum Mendel, hal ini memang benar. Namun, hukum Mendel hanya berlaku pada keadaan kromosom yang normal, sehingga pada kelainan kromosom hukum Mendel tidak dapat digunakan dengan cara yang sama seperti penerapan pada kromosom normal. Lagipula, secara logika, memang jarang sekali ada penderita Down syndrome yang menikah dan berkeluarga, karena umumnya penderita Down syndrome tersebut cukup sulit untuk mengurus diri sendiri, apalagi untuk mempunyai sebuah keluarga. Jadi dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Down syndrome trisomi 21 tidak dapat diturunkan.

Pada Down syndrome mosaik terjadi variasi fenotip, berbeda dengan Down syndrome trisomi 21 utuh (keseluruhan), tergantung pada variasi proporsi sel dengan trisomi 21 pada embryo dalam perkembangan awal kehamilan. Pada Down syndrome mosaik, kelainan ini tidak diturunkan, seperti halnya terjadi pada Down syndrome trisomi 21 utuh.

Pada Down syndrome translokasi, pertukaran material kromosom antara kromosom golongan D dengan kromosom 21 (golongan G) menyebabkan terbentuknya gamet yang membentuk 4 kemungkinan, yaitu normal, karier, individu dengan Down syndrome, dan lethal (G- monosomi). Down syndrome translokasi inilah yang merupakan penyakit herediter yang dapat diturunkan, yang terdapat dalam genotip walaupun fenotipnya normal, dalam hal ini disebut “karier”. Individu yang “karier” dapat menurunkan sifat ini kepada keturunannya. Karena itu, untuk pencegahannya, perlu konseling genetik sebelum memutuskan akan mengadakan konsepsi/kehamilan, apalagi apabila dalam sejarah kesehatan keluarga terdapat anggota keluarga yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu yang sifatnya genetik.

Terapi pada penderita Down syndrome lebih mengacu kepada bagaimana penderita Down syndrome dapat hidup dengan kesehatan yang lebih baik dan bagaimana penderita Down syndrome dapat bersosialisasi dan hidup dalam masyarakat, agar dapat mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada orang lain.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan :

1. Gen yang mempengaruhi penampakan fisik penderita Down syndrome adalah DSCR 1,2,3, dan 4.

2. Down syndrome trisomi 21 dan mosaik tidak terkait faktor hereditas, sehingga tidak diturunkan.

3. Down syndrome yang terkait faktor herediter adalah Down syndrome jenis translokasi.

4. Terapi pada penderita Down syndrome lebih terkait dengan latihan kemandirian penderita Down syndrome dan perawatan kesehatan untuk meningkatkan harapan hidup penderita.

B. Saran :

1. Anak tersebut sebaiknya segera diberikan terapi bicara dan latihan fisik, sehingga tetap dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya serta belajar hidup dengan mandiri.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Down syndrome. Akses tanggal 12 November 2008, 16:34 di

http://en.wikipedia.org/wiki/down_syndrome

Chen, Harold. 2007. Down Syndrome. Akses tanggal 12 November 2008, 16:30 di

http://www.emedicine.com/ped/topic615.htm

Emery, Alan F.H. 1992. Dasar-Dasar Genetika Kedokteran. Yogyakarta: Yayasan Etensia Medika

McKusick, Victor A. 2008. Down Syndrome. Akses tanggal 12 November 2008, 17:03 di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/dispomim.cgi?id=190685

Suryo. 2005. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment