Monday, July 6, 2009

Endokrin: DM, Poliuria

“Mekanisme Timbulnya Poliuria dan Gejala Klinis Terkait Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM Tipe 2”


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Poliuria adalah pasase volume urin yang besar dalam periode tertentu. Sedangkan diabetes adalah adanya berbagai gangguan yang ditandai dengan poliuria (Dorland, 2002). Diabetes umumnya terbagi menjadi 2, yaitu Diabetes Insipidus (DI) dan Diabetes Mellitus (DM). Namun, umumnya istilah diabetes cenderung merujuk pada Diabetes Mellitus. DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hanya dapat dikendalikan sedemikian rupa agar penderitanya tetap dalam keadaan sehat secara umum, tidak mengalami komplikasi tertentu. Karena itu, ilmu penyakit dalam─khususnya endokrinologi, perlu dikaji lebih dalam agar masyarakat juga dapat menjadi lebih peka dan tanggap terhadap isu DM. Dalam laporan ini penulis akan mencoba menganalisis kaitan antara poliuria dan simptom lainnya berkaitan dengan DI dan DM berdasarkan dasar teori Endokrinologi.

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:

Wanita 45 tahun, BB 45 kg, TB 156 cm, datang ke poliklinik Penyakit Dalam Sub. Bagian Endokrinologi dengan keluhan poliuria, kedua kaki terasa kesemutan (polineuropati), dan mata kabur. Sejak 2 tahun yang lalu penderita merasakan sering buang air kecil, banyak makan tetapi badan semakin kurus, dan pernah berobat ke dokter, kemudian didiagnosis DI. Anak laki-lakinya, 11 tahun, menderita DM dan sekarang menggunakan insulin. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Hasil CT scan absomen kesimpulan: kalsifikasi pada kelenjar pankreas. Laboratorium darah: gula darah puasa 256 mg/dl, kolesterol total 250 mg/dl, creatinin 2,0 mg/dl. Urin rutin: protein positif (+++), reduksi (+++).

Oleh dokter poliklinik penderita diberi obat anti diabetik oral (OAD), selanjutnya dirujuk ke poliklinik gizi dengan diet DM 1700 kalori, poliklinik mata,dan poliklinik neurologi. Selain itu penderita dianjurkan latihan jasmani setiap hari dan kontrol rutin setiap bulan karena penyakit ini sebagian besar harus menjalani pengobatan selama hidup.

Hipotesis sementara yang penulis ambil menurut gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, pasien dalam kasus menderita Diabetes Mellitus (DM) tipe 2, yang masalahnya berakar pada reseptor hormon insulin, hormon yang mengatur kadar glukosa darah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Diagnosis apakah yang paling tepat ditentukan untuk kasus?

2. Apakah hubungan antara hasil pemeriksaan dengan patogenesis dan patofisiologi DM?

3. Bagaimana mekanisme timbulnya poliuria, polineuropati, retinopati, serta penurunan berat badan pada penderita DM?

4. Adakah hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masing-masing dalam kasus?

5. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita DM?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui diagnosis yang paling tepat ditentukan untuk kasus.

2. Mengetahui hubungan antara hasil pemeriksaan dengan patogenesis dan patofisiologi DM.

3. Mengetahui mekanisme timbulnya poliuria, polineuropati, retinopati, serta penurunan berat badan pada penderita DM.

4. Mengetahui hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masing-masing dalam kasus.

5. Mengetahui penatalaksanaan penderita DM.

D. MANFAAT PENULISAN

· Mahasiswa mengetahui dasar teori diagnosis penyakit terkait endokrinologi.

· Mahasiswa mengetahui dasar teori mekanisme kerja organ terkait endokrinologi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Insipidus dan Diabetes Mellitus

Keluhan dan gejala utama Diabetes Insipidus (DI) adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam sangat banyak, mencapai 5-10 liter (Sudoyo et.al., 2006). Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat kurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton and Hall, 2007). DI dan DM mempunyai simptom yang sama, yaitu poliuria. Poliuria terdapat dalam berbagai keadaan, walaupun DI merupakan penyebab yang sering terjadi. Ada 10 diagnosis banding dalam poliuria selain DI, diantaranya DM tak terkontrol dan penggunaan obat-obat tertentu. Algoritme poliuria terdiri dari beberapa tahap sebelum mencapai diagnosis DI. Langkah 1 adalah mengetahui osmolalitas urin. Langkah selanjutnya apabila nilainya <250>140 mmol/L, maka didapatkan diagnosis DI. Namun apabila yang didapat hanya osmolalitas urin <250>

B. Dasar Diagnosis dan Tipe DM

Pemeriksaan penyaring DM dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut : 1) Usia 45 tahun; 2) Berat badan lebih; 3) Hipertensi; 4) Riwayat DM dalam garis keturunan; 5) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB bayi >4000 gram; dan 6) Kolesterol HDL ≤35 mg/dl dan atau trigliserida ≥250 mg/dl. Pemeriksaan penyaringan berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan gula darah puasa terganggu (GDPT). TGT dan GDPT dapat dikatakan merupakan tahapan sementara menuju DM.

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan sebagai patokan diagnosis DM, karena apabila kadar glukosa darah sewaktu 110-199 mg/dl dan glukosa darah puasa 110-125 mg/dl belum tentu pasien tersebut menerita DM walaupun nilai tersebut tidak normal. Namun, untuk kelompok tanpa keluhan khas DM diperlukan sekali lagi pemeriksaan untuk mendapatkan angka abnormal yang pasti untuk diagnosis DM (Sudoyo et.al., 2006).

DM saat ini terbagi menjadi 4 tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, Diabetes Kehamilan, dan DM tipe lain. Namun, secara klinis DM hanya dibagi menjadi 2 tipe: DM tipe 1 dan DM tipe 2 (Sudoyo et.al., 2006). Gambaran klinis pasien dengan DM tipe 1 adalah usia onset biasanya <20>40 tahun, dan gangguan disebabkan karena resistensi jaringan terhadap efek metabolik insulin (Guyton and Hall, 2007).

C. Mekanisme Gejala Klinis DM

Mekanisme poliuria dan polidipsia berkaitan erat. Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan dehidrasi berat pada sel tubuh akibat tekanan osmotik, yang menyebabkan cairan dalam sel keluar. Keluarnya glukosa dalam urin akan menimbulkan keadaan diuresis osmotik. Efek keseluruhannya adalah kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin. Karena itulah kemudian timbul polidipsia (Guyton and Hall, 2007).

Proses terjadinya neuropatik diabetik (ND) berawal dari hiperglikemia persisten, yang menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang mengubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf bersifat merusak dengan mekanisme yang belum jelas. (Sudoyo et.al.., 2006). Fruktosa dan sorbitol mempunyai kadar diatas normal pada lensa mata penderita DM, dan dapat terlibat dalam patogenesis katarak diabetika. Fruktosa dan sorbitol meningkat pada jaringan tubuh yang tidak sensitif terhadap insulin, seperti lensa mata, saraf tepi, dan glomerulus ginjal seiring peningkatan kadar glukosa darah (Murray et.al, 2003).

D. Etiologi DM dan Kaitannya Dengan Riwayat Kesehatan

Menurut etiologinya, DM tipe 1 disebabkan karena adanya gangguan produksi insulin akibat penyakit autoimun atau idiopatik., yang menyebabkan pasien mutlak membutuhkan insulin. DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin atau gangguan sekresi insulin. Pada tipe 2 ini tidak selalu dibutuhkan insulin, kadang-kadang cukup dengan diet dan antidiabetik oral. (Gunawan et.al., 2007).

E. Penatalaksanaan DM

Langkah pertama dalam pengelolaan DM selalu dimulai dengan pendekatan non-farmakologis, yaitu berupa terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obese. Bila dengan langkah-langkah tersebut sasarna pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat berupa obat anti diabetik (OAD) atau pemberian insulin (Sudoyo et.al., 2006).

Target dalam terapi gizi medis untuk DM adalah menjaga agar kadar glukosa darah mendekati normal, dengan menyeimbangkan makanan yang masuk dengan ketersediaan insulin (endogen atau eksogen), dan agen antidiabetik, serta mengatur BB agar ideal, mengurangi risiko komplikasi metabolik, mikrovaskuler, dan aterosklerosis. (Shils et.al., 2006)

BAB III

PEMBAHASAN

Dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa pasien dalam kasus diatas menderita DM tipe 2. Hal ini dapat diketahui dari gejala polifagia dan poliuria, penurunan berat badan yang sebabnya kurang jelas, usia onset yang lebih dari 40 tahun, serta keluhan adanya polineuropati dan mata kabur (retinopati). Hal ini diperkuat dengan hasil laboratorium yang abnormal. (perbandingan dengan nilai normal terlampir)

Polifagia terjadi akibat jaringan tubuh tidak mendapatkan suplai glukosa yang cukup akibat gagalnya insulin membuka kanal glukosa. Akibatnya, glukosa darah menumpuk, namun tubuh tetap merasa lapar. Karena glukosa tidak dapat mencukupi kebutuhan energi jaringan, maka tubuh mengambil energi tersebut dari sumber energi yang lain, seperti lemak atau protein, sehingga lama kelamaan pasien menjadi semakin kurus. Selanjutnya, karena ginjal mempunyai ambang batas tertentu terhadap filtrasi glukosa, maka glukosa ikut lolos sehingga keluar bersama urin. Karena itu pengujian urin untuk glukosa reduksi mempunyai hasil posisitif (+++). Untuk menjaga agar urin tidak terlalu pekat, ginjal mempunyai sistem pengaturan sendiri, sehingga cairan tubuh ikut keluar bersama urin, dan jaringan tubuh mengalami dehidrasi. Sebab itu, penderita DM pada umumnya merasa sering haus (polidipsi). Gejala klinis berupa polineuropati dan retinopati berkaitan dengan akumulasi fruktosa dan sorbitol. Secara umum, penumpukan fruktosa dan sorbitol mengganggu kerja sistem saraf, namun secara khusus keduanya jelas terlibat dalam patogenesis katarak diabetika. Kadar kreatinin dan hasil uji protein urin yang abnormal juga menunjukkan salah satu komplikasi DM, yaitu defisiensi kerja ginjal. Ginjal tidak mampu menyaring protein dengan baik, sehingga protein ikut terlarut dalam urin. Adanya kalsifikasi pada pankreas menunjukkan terganggunya fungsi pankreas dalam memproduksi insulin dalam jumlah normal.

Secara umum menurut referensi yang ada, DM mempunyai sebab yang belum begitu jelas. Namun, diduga faktor genetik yang didapat (idiopatik) menempati urutan teratas dalam penyebab DM, walaupun mekanisme genetika DM belum dapat dipaparkan secara jelas seperti halnya pada kasus buta warna. Jadi anak laki-laki pasien tersebut bisa saja menderita DM tipe 1 karena faktor genetik tersebut.

Terapi DM sebaiknya dimulai dengan terapi non-farmakologis sebagai pilihan pertama. Apabila belum berhasil, maka dapat dapat dibantu dengan terapi farmakologis. Terapi non-farmakologis diterapkan melalui terapi gizi medis, latihan jasmani, dan pengaturan berat badan (BB). Pasien tersebut mempunyai BMI 18,49 kg/m2, dan hal tersebut mendekati nilai normal (18,5-25─menurut Depkes RI), sehingga hanya perlu dijaga agar selalu dalam batas normal. Terapi diet atau gizi medis juga harus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien, harus dijaga agar tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah. Karena itu, setelah menghitung kebutuhan kalori, pasien diberikan diet DM 1700 kalori. Untuk terapi farmakologis, berupa obat antidiabetik dan insulin, diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Pada umumnya, untuk pasien DM tipe 2 yang tidak tergantung pada insulin untuk hidup, dapat diberikan OAD. Namun, pertimbangan lain yang biasanya diambil oleh para dokter untuk menjaga pankreas bekerja normal tanpa “dipaksa” untuk memproduksi insulin dapat menjadi pilihan terapi lain, yaitu dengan memberikan insulin eksogen. OAD pun terdiri dari beberapa jenis, yaitu sulfonilurea, meglitinid, biguanid, tiazolidinedion, dan penghambat enzim α-glikosidase. Pemilihan OAD ini sangat tergantung pada kondisi pasien serta komplikasinya. Misalnya, pasien yang underweight, atau sedang hamil tidak boleh menggunakan OAD, tetapi harus diganti dengan insulin. Metformin dari golongan biguanid, misalnya, walaupun terbukti cukup aman, tidak dapat digunakan untuk terapi pada pasien dengan defisiensi fungsi ginjal seperti pada kasus.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan perbandingan dengan nilai normal laboratorium dan gejala klinis, dapat disimpulkan pasien menderita DM tipe 2.

2. Hiperglikemia (>200 mg/dl) ditambah dengan gejala khas (poliuria, polifagia, polidipsia, polineuropati, retinopati) DM dapat menjadi dasar diagnosis DM. Selain itu diperkuat dengan hiperkolesterolemia dan glukosuria.

3. Poliuria terjadi karena diuretik osmotik dari urin yang mengandung glukosa berlebih. Polineuropati dan retinopati terjadi akibat akumulasi fruktosa dan sorbitol sebagai salah satu efek dari hiperglikemia persisten. Sedangkan BB pasien berkurang karena lemak dalam jaringan adiposa digunakan untuk menggantikan glukosa sebagai sumber energi yang tidak dapat masuk ke reseptor akibat resistensi insulin.

4. Hubungan genetika DM belum ditemukan dengan jelas, namun seluruh referensi yang penulis dapatkan merujuk pada adanya kaitan DM dengan genetika.

5. Penatalaksanaan pasien DM tipe 2 harus memperhatikan kondisi dan kesehatan serta komplikasi pasien, agar dapat ditemukan terapi yang tepat untuk pasien. Diutamakan terapi non-farmakologis dahulu, apabila hasilnya kurang baik maka dapat dibantu dengan terapi farmakologis.

B. Saran

1. Sebaiknya pasien meningkatkan sedikit berat badannya (BMI pasien 18,49 kg/m2, sedangkan BMI yang normal menurut Depkes RI adalah 18,5-25 kg/m2) agar masuk kategori nilai normal, dengan demikian tidak berisiko bila diberikan OAD.

2. Poin terpenting dalam penatalaksanaan penderita DM adalah menjaga agar kadar glukosa darah pasien tetap berada di dalam atau mendekati angka normal, dengan demikian menjauhi risiko timbulnya komplikasi.

3. OAD yang diberikan pada pasien sebaiknya tidak mempunyai kontra indikasi untuk kelainan fungsi ginjal.

4. Latihan jasmani yang dilakukan juga harus sesuai dengan kondisi pasien, tidak boleh terlalu melelahkan.

5. Sebaiknya pasien dan keluarganya diberi edukasi untuk tetap menjaga kesehatan pasien, dengan pola hidup sehat dan patuh terhadap anjuran dokter.

.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.

Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Murray, Robert K. Granner, Daryl K. Mayes, Peter A. Rodwell, Victor W. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry, Twenty-Sixth Edition. New York: Mc. Graw Hill.

Shils, Maurice E. Shike, Moshe. Ross, A Catharine. Caballero, Benjamin. Cousins, Robert J. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease, 10th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

LAMPIRAN 1

Hasil Pemeriksaan dan Perbandingan Dengan Nilai Normal

I. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah

Jenis

Hasil Laboratorium

Normal

Gula darah puasa

256 mg/dl

70-110 mg/dl

Kolesterol total

250 mg/dl

15-220 mg/dl

Kreatinin

2,0 mg/dl

0,7-1,5 mg/dl

Sumber : Murray et.al., 2003

II. Hasil pemeriksaan Urin

Jenis

Hasil Laboratorium

Normal

Protein

+++ (0,2-0,5 %)

-

Glukosa Reduksi

+++ ( 2-3,5 % )

0,15-1,5 gr/hari

Sumber : Murray et.al, 2003

LAMPIRAN 2

Diagnosis Banding Poliuria

Selain Diabetes Insipidus, poliuria juga dapat menjadi penunjuk penyakit seperti di bawah ini:

  1. Polidipsi psikogenik
  2. Obat-obatan yang menyebabkan mulut kering dan merangsang masukan air (antipsikotik, antikolinergik)
  3. Nefropati air garam
  4. Diabetes mellitus tak terkontrol
  5. Diuresis pasca obstruksi
  6. Diuresis osmotik-makanan tinggi protein
  7. Diuresis pasca operasi karena dehidrasi intraoperatif
  8. Obat-obatan (manitol, steroid)
  9. Radiokontras
  10. Pasca resusitasi-diuresis dalam jumlah banyak akibat dari cairan yang diberikan

(Sudoyo et.al, 2006)

1 comment: