Tuesday, July 7, 2009

Infeksi & Penyakit Tropis: Demam Tifoid

“Diagnosis Mual dan Muntah Serta Demam Terkait Penyakit Tropis dan Infeksi”


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap negara mempunyai masalah kesehatan yang berbeda. Sebagai contoh, Indonesia yang termasuk dalam wilayah tropis mempunyai berbagai penyakit endemik yang tidak terdapat di negara-negara subtropis atau iklim sedang lainnya. Penyakit tropis dan infeksi merupakan permasalahan yang harus dikuasai oleh dokter yang bekerja di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:

Seorang mahasiswi, 23 tahun, datang ke RSUD Dr. Muwardi dengan keluhan sering mual dan muntah selama 1 minggu. Keluhan ini disertai febris 8 hari yang sifatnya remitten, tetapi tidak sampai menggigil. Hasil pemeriksaan dokter didapatkan: febris, bradikardi relatif, lidah kotor dan tremor, serta hepatosplenomegali. Sebelumnya penderita dicurigai infeksi dan sudah diberi antibiotik oleh dokter Puskesmas setempat tetapi belum sembuh. Diantara teman satu kosnya ada yang menderita keluhan yang sama. Lingkungan rumah kos penderita banyak tikusnya.

Hasil pemeriksaan darah didapatkan: leukopeni, tes serologi Widal positif, dan IgM Salmonella Typhii meningkat, sedangkan hasil pemeriksaan apusan darah tebal/tipis malaria negatif. Direncanakan pemeriksaan MAT (Micro Agglutination Test).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa pasien mengalami febris?

a. Apakah definisi febris?

b. Bagaimana patofisiologi febris?

c. Apa saja tipe febris?

2. Bagaimana mekanisme agen infeksius menimbulkan kondisi patologis?

a. Bagaimana jalur masuk agen infeksius ke dalam tubuh manusia?

b. Bagaimana kaitan penyakit dengan daerah tertentu (endemis)?

3. Bagaimana Differential Diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang ada?

a. Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis dan patofisiologi, serta komplikasi yang terkait?

b. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan?

c. Bagaimana penatalaksanaannya?

4. Bagaimana terapi untuk pasien dalam kasus?

C. TUJUAN PENULISAN

· Menjelaskan berbagai macam agen infeksius: morfologi, sifat, daur hidup, habitat, dan asalnya.

· Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit mulai dari masuknya agen infeksius hingga muncul gejala klinis.

· Menjelaskan komplikasi, prognosis, dan penegakan diagnosis penyakit infeksi.

· Menjelaskan penatalaksanaan penyakit infeksi (cara pencegahan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi).

D. MANFAAT PENULISAN

· Mahasiswa mampu menetapkan diagnosis atau Differential Diagnosis penyakit infeksi berdasarkan pemeriksaan fisik, dan investigasi tambahan yang sederhana, seperti pemeriksaan laboratorium.

· Mahasiswa mampu menjelaskan secara patofisiologi masing-masing penyakit tropis secara biomedik.

· Mahasiswa mampu melakukan pencegahan primer dan sekunder pada penyakit infeksi.

E. HIPOTESIS

Pasien dalam kasus menderita demam tifoid, dengan diagnosis banding malaria, dan leptospirosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi

Infeksi merupakan reaksi tubuh setempat atau umum dan biasanya reaksi setempat ini disertai dengan reaksi umum tubuh yang hidup karena invasi dari kuman serta toksinnya dan berkembang biak (Sudiono et.al, 2003).

Syarat timbulnya infeksi adalah bahwa organisme yang menular harus mampu melekat, menduduki atau memasuki hospes dan berkembang biak paling tidak sampai taraf tertentu. Tubuh kemudian mempunyai mekanisme pertahanan tertentu pada berbagai tempat yang berhubungan dengan lingkungan. Faktor mikroba yang berpengaruh terhadap infeksi antara lain adalah daya transmisi, daya invasi, dan kemampuan untuk menimbulkan penyakit (Wilson, 2006). Sedangkan reaksi tubuh terhadap masuknya kuman tergantung pada jenis kuman, hospes, keadaan tubuh, keadaan sosial ekonomi, sistem imunitas, dan ada atau tidaknya alergi (Sudiono et.al, 2003).

Pada infeksi, sering menimbulkan gejala-gejala umum seperti menggigil dan badan terasa lemah. Hal ini disebabkan karena eksotoksin kuman, tetapi bagaimana kuman dengan endotoksin dapat menimbulkan gejala belum diketahui secara jelas. Diduga ada kuman yang mati, dan setelah mati endotoksinnya keluar sehingga menyerupai eksotoksin.

No

Eksotoksin

Endotoksin

1

Dikeluarkan oleh kuman hidup

Berasal dari bakteri yang mati (terutama Gram negatif).

2

Merupakan protein sederhana

Tidak dapat dinetralisasi oleh antibodi

3

Dapat dinetralisasi oleh antibodi yang spesifik

Bekerja dengan cara merusak kapiler, mengganggu sistem koagulasi, dan menyebabkan nekrosis sel.

4

Sering mempunyai aktivitas enzim spesifik dan bekerja pada organ atau jaringan yang spesifik.

Menyebabkan demam piogenik dan syok endotoksin.

(Sudiono et.al, 2003).

B. Agen Infeksius

Agen infeksi adalah organisme yang dapat menyebabkan infeksi. Mekanisme bagaimana agen infeksiosa menimbulkan penyakit berdasar pada (1) sifat spesifik organisme penyebab infeksi, dan (2) respon pejamu terhadap agen infeksi.

Agen infeksi digolongkan menjadi 1) prion, 2) virus, 3) bakteriofaga, plasmid, dan transposon, 4) bakteri, 5) klamidia, rickettsia dan mikoplasma, 6) fungus, 7) parasit protozoa, 8) cacing, dan 9) ektoparasit seperti serangga atau arachnida (Samuelson, 2008).

Kuman masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara, antara lain 1) melalui sela jaringan (secara langsung atau per-kontinuitatum), 2) secara hematogen (melalui pembuluh darah), 3) secara limfogen (melalui saluran limfe), dan 4) melalui saluran yang memang sudah ada pada tubuh (Sudiono et.al, 2003).

Cara agen infeksi menyebabkan penyakit secara umum dibagi menjadi tiga mekanisme umum:

1. Agen infeksi berkontak atau masuk ke dalam sel pejamu dan secara langsung menyebabkan kematian sel.

2. Patogen mengeluarkan toksin yang dapat mematikan sel yang terletak jauh, mengeluarkan enzim yang menguraikan komponen jaringan, atau merusak pembuluh darah dan menyebabkan cedera iskemik.

3. Patogen dapat memicu respon sel pejamu yang mungkin memperparah kerusakan jaringan, biasanya melalui mekanisme yang diperantarai oleh imun (Samuelson, 2008)

C. Demam

Febris atau demam pada umumnya diartikan sebagai suhu tubuh diatas 37,2°C. Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan hasil dari suatu reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Pirogen adalah suatu protein yang identik dengan interleukin-1 (IL-1). Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam arachidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 (PG E2) yang langsung dapat menyebabkan pireksia (Dorland, 2002; Nelwan, 2007).

Beberapa tipe demam yang mungkin dijumpai adalah:

Jenis Demam

Ciri-ciri

Demam septik

Malam hari suhu naik sekali, pagi hari turun hingga diatas normal, sering disertai menggigil dan berkeringat.

Demam remitten

Suhu badan dapat turun setiap hari tapi tidak pernah mencapai normal. Perbedaan suhu mungkin mencapai 2 derajat namun perbedaannya tidak sebesar demam septik.

Demam intermiten

Suhu badan turun menjadi normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam terjadi dua hari sekali disebut tertiana dan apabila terjadi 2 hari bebas demam diantara 2 serangan demam disebut kuartana.

Demam kontinyu

Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

Demam siklik

kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang diikuti kenaikan suhu seperti semula

(Nelwan, 2007).

D. Penegakan Diagnosis

Demam tifoid

Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, namun dapat juga disebabkan oleh S. enteriditis bioserotip paratyphi A dan S. enteriditis serotip paratyphi B yang disebut demam paratyphoid.

Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi Salmonella, termasuk S. typhi. Khususnya S. typhi, carrier manusia adalah sumber infeksi. S. typhi bisa berada dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila organisme ini masuk ke dalam vehicle yang cocok (daging, kerang, dan sebagainya) akan berkembang biak mencapai dosis infektif (Karsinah et.al, 1994).

Kuman masuk melalui saluran pencernaan lewat makanan yang terkontaminasi. Sebagian dimusnahkan dalam lambung, namun ada yang lolos sampai usus, kemudian berkembang biak. Bila respon imunitas mukosa (IgA) kurang baik, kuman dapat menembus sel epitel (terutama sel-M), selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kemudian berkembang biak dan difagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup di makrofag kemudian dibawa ke plaques peyeri kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Kemudian kuman masuk ke sirkulasi darah (menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik), kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman menyebarkan meninggalkan sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi. Pada minggu pertama ditemukan gejala dan keluhan serupa penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala tampak lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid terdiri dari pemeriksaan rutin, yang sering dijumpai leukopenia walaupun kadar leukosit bisa normal atau malah leukositosis, Uji serologi Widal (digunakan untuk deteksi antibodi terhadap S. typhi), dan pemeriksaan kultur darah.

Komplikasi dari demam tifoid dapat berupa komplikasi intestinal seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan pankreasitik, sedangkan komplikasi non intestinal dapat berupa komplikasi kardiovaskular, darah, paru, hepatobilier, ginjal, tulang, dan neuropsikiatrik/tifoid toksik (Widodo, 2007).

Malaria

Malaria disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium yang menyerang eritrosit. Plasmodium malaria yang sering dijumpai di Indonesia adalah Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana (Benign malaria) dan Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika (Malignan malaria).

Masa inkubasi malaria bervariasi pada jenis plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan, dan kadang-kadang dingin, yang sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale. Gejala klinisnya secara umum berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali.

Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita (dari daerah endemis atau tidak), riwayat bepergian, dan riwayat pengobatan preventif maupun kuratif. Pemeriksaan untuk malaria mencakup pemeriksaan tetes darah tebal dan tipis, tes antigen, tes serologi, dan pemeriksaan PCR (Harijanto, 2007).

Leptospirosis

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interrogans. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah terkontaminasi dengan urine binatang yang telah terinfeksi leptospira, melalui luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir.

Setelah leptospira masuk aliran darah dan berkembang, kemudian menyebar ke jaringan secara luas. Selanjutnya terjadi respon imun, walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal, yang kemudian dilepaskan melalui urine. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dapat dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Tiga mekanisme yang terlibat dalam pathogenesis leptospirosis adalah invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi. Manifestasi yang sering timbul berupa demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, dan fotopobi. Sedangkan splenomegali mungkin muncul, walaupun kejadian ini terhitung jarang

Pemeriksaan laboratorium darah rutin dijumpai leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila ada komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi (Zein, 2007)

E. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk penyakit demam tifoid saat ini masih menganut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

Istirahat dan perawatan. Untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.

Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif). Untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.

Pemberian antimikroba. Untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol (sebagai pilihan utama), tiamfenikol (hampir sama dengan kloramfenikol, tetapi komplikasi hematologi lebih rendah), kotrimoksazol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan fluorokuinolon, dan kombinasi obat antimikroba (indikasi tertentu saja, seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Dapat juga digunakan kortikosteroid pada toksik tifoid atau demam tifoid dengan syok septik (Widodo, 2007)

F. Pencegahan Penyakit

Preventif dan kontrol penularan. Mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhi, faktor host, serta lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutus transmisi tifoid, yaitu 1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun karier tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.

Vaksinasi. Indikasi vaksinasi adalah bila 1. Hendak mengunjungi daerah endemik, 2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan (Widodo, 2007).

BAB III

PEMBAHASAN

Mual dan muntah memiliki banyak penyebab. Mulai dari gangguan saluran cerna hingga gangguan saraf seperti pada motion sickness. Adanya gas serta gerakan peristaltik usus pun turut berperan dalam timbulnya mual dan muntah. Namun pada pasien, intinya adalah kerusakan saluran gastrointestinal menimbulkan impuls iritatif yang merangsang pusat muntah di batang otak yang memerintahkan otot abdomen dan diafragma untuk berkontraksi sehingga menyebabkan mual dan muntah.

Febris 8 hari yang remiten tanpa menggigil. Demam umumnya terjadi akibat adanya rangsangan untuk meningkatkan suhu tubuh atau adanya gangguan pada pusat pengatur suhu, yaitu hipotalamus. Pada pasien, demam terjadi akibat adanya rangsangan terhadap metabolisme asam arachidonat oleh pirogen endogen (IL-1) yang dirangsang oleh pirogen eksogen yang ada pada toksin bakteri atau agen infeksius lainnya. Sifat demam yang remiten terjadi akibat siklus agen infeksius, dalam hal ini bakteri, dan ritme aktivitas host. Seperti misalnya, demam terjadi di sore hingga malam hari karena pada waktu tersebut metabolisme tubuh telah menurun, sehingga suhu tubuh ikut menurun. Akibatnya, tubuh mengkompensasi set point “palsu” yang di set oleh bakteri dengan mekanisme demam. Sedangkan menggigil adalah salah satu mekanisme termogenesis dalam usaha meningkatkan suhu. Pada umumnya menggigil terjadi pada demam yang suhunya jauh dari nilai normal.

Bradikardi relatif dan lidah kotor tidak dapat dijelaskan penyebabnya yang lebih spesifik, namun mekanisme tersebut terbukti sebuah tanda patologis. Sedangkan tremor digunakan tubuh untuk meningkatkan termoregulasi, melalui peningkatan metabolisme basal. Hal ini juga terjadi akibat tubuh dipaksa untuk mengikuti set point “palsu” yang di set oleh agen infeksius.

Hepatosplenomegali dalam kasus mempunyai berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah akibat pengumpulan sel-sel polimorfonuklear di organ sistem retikuloendotelial tersebut. Kemungkinan yang lain adalah akibat aktivitas replikasi kuman di dalam makrofag yang berada dalam hati dan limpa. Kemungkinan terakhir adalah pada hati kerja sel makrofagnya (sel Kuppfer) bekerja lebih berat, karena semua agen infeksius dari saluran gastrointestinal pasti melewati vena porta hepatika, sehingga hati harus menghadapi kuman tersebut di garis terdepan setelah masuk sirkulasi. Sedangkan limpa sebagai limfonodus, seperti pada banyak kasus infeksi lain, membesar akibat peningkatan kerja organ untuk membentuk lebih banyak limfosit, juga sebagai filter pertahanan terakhir setelah agen infeksius masuk dalam sirkulasi.

Penderita sebelumnya dicurigai infeksi, dan sudah diberi antibiotik oleh dokter puskesmas setempat tetapi belum sembuh. Hal ini mungkin terjadi akibat resistensi penderita terhadap jenis antibiotik tertentu. Apabila terjadi resistensi, sebaiknya dipilihkan obat lain yang belum resisten, atau digunakan kombinasi minimal dua jenis antibiotik yang mekanisme kerjanya berbeda. Kombinasi antibiotik seperti ini sering dilakukan untuk terapi tuberculosis yang resisten.

Pada penularan penyakit infeksi, faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat penting. Berbagai penyakit infeksi ditularkan lewat secret nasofaringeal, ekskret urine dan feses, lewat kontak, lewat binatang vector, atau bahkan lewat partikel udara. Pada penyakit demam tifoid, S. typhi ditransmisikan lewat saluran gastrointestinal, terutama oleh makanan atau air terkontaminasi yang kemudian masuk ke saluran cerna. Maka, mungkin saja penderita tertular penyakit tersebut lewat teman satu kosnya yang menderita keluhan yang sama. Lingkungan rumah kos penderita banyak tikusnya, hal ini dapat menjadi suatu dugaan keterkaitan dengan penyakit leptospirosis.

Leukopeni dapat terjadi pada keadaan infeksi tertentu, yaitu demam tifoid, influenza, tifus abdominalis dan kadang-kadang tuberkulosis (Sudiono et.al, 2003). Leukopeni merupakan hasil yang sering didapatkan pada penderita demam tifoid, namun tidak selalu. Dalam kasus, pasien mengalami leukopenia akibat supresi sumsum tulang oleh S. typhi.

Tes serologi Widal yang positif menunjukkan diagnosis penyakit demam tifoid akibat infeksi Salmonella. Walaupun demikian, tes serologi Widal masih mungkin memunculkan hasil positif palsu, yang terjadi akibat antibodi yang berlebihan, infeksi kuman lain, atau dapat juga terjadi akibat infeksi sebelumnya.

Kenaikan titer IgM Salmonella typhi menunjukkan adanya infeksi akut S. typhi, sehingga hal ini juga dapat menjadi salah satu dasar yang kuat dalam menentukan diagnosis yang lebih cenderung mengarah pada demam tifoid, selain dari gejala klinis dan tes serologi Widal.

Untuk memastikan diagnosis demam tifoid, sekali lagi dilakukan pemeriksaan apusan darah tebal/tipis malaria, dan hasilnya negatif. Namun masih ada satu diagnosis banding, yaitu leptospirosis. Walaupun pada leptospirosis ikterus yang terjadi sangat menonjol, dan jarang terjadi splenomegali, namun untuk memastikan diagnosis, direncanakan dilaksanakan pemeriksaan MAT.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pasien dalam kasus menderita demam tifoid akibat infeksi Salmonella typhi yang ditularkan akibat sanitasi yang kurang baik, dan mungkin tertular dari makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh S. typhii dari teman satu kos penderita atau dari carrier yang lain, misalnya ekskresi dalam tinja.

B. SARAN

1. Sebaiknya pasien segera dirawat inap agar cepat dapat ditangani dan terhindar dari komplikasi yang berat.

2. Sebaiknya pasien memperbaiki status kebersihan lingkungannya agar penyakit infeksi tidak mudah menular.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Harijanto, Paul N. 2007. Malaria dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti. 1994. Batang Negatif Gram dalam Staf Pengajar FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Nelwan, R.H.H. 2007. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Sudiono, Janti. Kurniadhi, Budi. Hendrawan, Andhy. Djimantoro, Bing. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta: EGC.

Wilson, L.M. 2006. Respon Tubuh Terhadap Agen Menular dalam Price, S.A. Wilson, L.M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.

Zein, Umar. 2007. Leptospirosis dalam Sudoyo, Aru W. et.al Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

6 comments: