Monday, July 6, 2009

Bioetika: Otopsi

“Penatalaksanaan Gawat Darurat Korban Kecelakaan Sesuai Dengan Etika, Hukum, dan Disiplin Profesi Kedokteran


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2, setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat. (MKEK, 2002).

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:

Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas dibawa penolong ke RS. Korban dalam keadaan tidak sadar, dimasukkan imstalasi gawat darurat. Dokter bersama paramedik dengan profesional memberikan pertolongan sesuai standar profesi. Usaha penyelamatan pasien gagal, setelah dilakukan pertolongan di IGD selama 10 menit korban meninggal. Korban dibawa ke kamar jenasah untuk dilakukan otopsi untuk mengetahui sebab kematian.

Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. (Mansjoer, 2000).

Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis penatalaksanaan pasien gawat darurat dari segala aspek yang terkait. Diharapkan mendatang apabila terdapat permasalahan yang melibatkan berbagai aspek kehidupan, mahasiswa dapat menyelesaikan permasalahan berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh selama pembelajaran.

B. RUMUSAN MASALAH

§ Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional?

§ Bagaimana prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas?

C. TUJUAN PENULISAN

§ Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional.

§ Mengetahui prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas.

D. MANFAAT PENULISAN

§ Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan pertimbangan dari beberapa aspek terkait sesuai standar profesi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. (UU Pradok, 2004). Berdasarkan KODEKI pasal 13, setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan. (MKEK, 2002).

Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (UU Pradok, 2004). Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Informed Consent menyatakan, dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. (Per. Menkes, 1989).

Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan adalah mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang mungkin timbul, meringankan penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan penyakit menular dari penderita. (Sudjito, 2003).

Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan apapun dapat dianggap melakukan penganiayaan, diatur dalam pasal 351 KUHP. Apabila mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP, 2008). Namun, dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran juga memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. (UU Pradok, 2004).

Autopsi forensik/medikolegal dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Tujuannya antara lain untuk mengidentifikasi mayat, menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian. (Mansjoer, 2000).

Secara yuridis, persetujuan keluarga jenazah tidak diperlukan dalam prosedur autopsi forensik. Dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam hal ini Kepolisian) untuk melakukan autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas pelaksanaan autopsi, keberatan dapat disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992).

Menurut Majma Fiqih Islami tahun 1987, tindakan autopsi diperbolehkan, untuk mengetahui penyebab kematian, kepastian tentang penyebab suatu penyakit, dan untuk pengajaran kedokteran. (Sarwat, 2008).

BAB III

PEMBAHASAN

Sesuai dengan kaidah dasar bioetik, kewajiban menolong pasien gawat darurat termasuk dalam konsep beneficence. Dalam penanganan pasien gawat darurat, dokter harus memperhatikan standar profesi dan standar prosedur operasional. Pelayanan terhadap pasien gawat darurat harus dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa pasien mungkin saja gagal diselamatkan apabila penanganan terlambat.

Apabila pasien tidak sadar dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk memutuskan tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan didasarkan pada kebutuhan medik pasien.

Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Perlu analisis lebih lanjut, apakah kejadian ini akibat dari medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat risiko tindakan medis yang telah dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam hal seperti ini, KTD tidak dapat digolongkan sebagai malpraktik.

Dokter dan tenaga kesehatan lain juga memperoleh perlindungan hukum, sepanjang tindakan yang diambil sudah didasarkan pada standar profesi dan standar prosedur operasional yang sesuai. Berbagai macam aspek dapat menjadi dasar pertimbangan keputusan medis, dari etika, hukum (yuridis─pemerintah dan instansi, maupun agama), dan disiplin profesi.

Autopsi, baik klinis, forensik, maupun anatomi memerlukan berbagai persyaratan tertentu. Secara klinis, jenazah tanpa identitas dapat diautopsi jika diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi masyarakat, dan apabila dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga yang datang ke rumah sakit. Menurut prosedur autopsi forensik, dokter dalam mengautopsi harus menerima surat perimtaan autopsi terlebih dahulu dari penyidik, dalam hal ini Kepolisian.

Menurut agama Islam, autopsi dalam kasus ini diperbolehkan, karena untuk mengetahui penyebab kematian. Namun menurut hukum, prosedur autopsi diatas masih memerlukan beberapa syarat tertentu agar sesuai dengan hukum yang berlaku.

BAB IV

KESIMPULAN

Sesuai dengan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran, penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tindakan medik (informed consent) dari siapapun. Tenaga kesehatan harus mengusahakan seoptimal mungkin agar pasien dapat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat darurat. Dalam KTD, sepanjang dokter dan paramedis telah berpegang pada konsep standar profesi dan prosedur operasional, tindakan medis yang dilakukan tidak dapat disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung dari sanksi hukum oleh peraturan kesehatan yang berlaku.

Pelaksanaan autopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan apabila : 1) ada surat permintaan dari Kepolisian, 2) dalam waktu 2x24 jam tidak ada keluarga korban yang datang ke rumah sakit, dan 3) diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi masyarakat.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.

Sudjito, M.H. 2003. Dasar-dasar Pengelolaan Penderita Gawat Darurat. Surakarta : UNS Press.

Hamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Majelis Kehormatan Etika Kedokteran.

Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.

Menteri Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/MENKES1PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Presiden RI. 2004. UU no. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Sarwat, Ahmad. 2008. Hukum Mengotopsi Mayat. http://ustsarwat.eramuslim.com/search.php, akses tanggal 20 Oktober 2008, 19:45.

Wujoso, Hari. 2008. Kaidah Dasar Bioetik.

Wujoso, Hari. 2008. KUHP.

Wujoso, Hari. 2008. Medical Error.

6 comments:

  1. kak, aku PD UNS 2009, salam kenal....
    blog kakak membantu banget lho buat tutorial aku
    sama sekali bukan sampah kok kak
    makasih banyak kak :)

    ReplyDelete
  2. alhamdulillah kalo kepake,, hihihi,, oke, semangat belajar ya dek,, skenarionya si biasanya dari tahun ke tahun masih sama,, hehe

    ReplyDelete
  3. Mohon Izin, Abang/Kakak....
    saya juga PD UNS 2009

    blog ini memberikan kami gambaran yg lebih jelas tentang materi yg sedang kami bahas. Semoga kami bisa semakin terpacu juga termotivasi untuk belajar dan terus belajar.

    Terima Kasih....

    ReplyDelete
  4. Iya sama2, [btw saya ini cwe lho,, hehe] semangat ya adik2,, hehe. semoga bisa jadi salah satu bahan referensi buat tutorial,,

    ReplyDelete
  5. kak aku Pd uns 2010 hlo.. skenarionya sama trus.. :D makasih ya kak :D

    ReplyDelete